TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia punya sumber energi terbarukan yang cukup besar dan bisa diandalkan. Potensi besar ini, menurut dia, terbentur dengan situasi politik Indonesia yang penuh konflik kepentingan.
"Batu bara itu bahkan sudah masuk ke ranah pejabat yang mengambil keputusan sentral," tuturnya saat dihubungi Tempo pada Jumat, 19 November 2022.
Baca: Bantu RI Pensiunkan PLTU Batu Bara, Biden Cs Kumpulkan Dana Rp 311 Triliun
Ia mengungkapkan hal itu terjadi lantaran para menteri di bidang perekonomian memiliki saham di sektor batu bara, misalnya pertambangan. Ditambah kepala daerah juga memiliki konflik kepentingan di daerah-daerah penghasil nikel.
Padahal, ia menilai kekayaan Indonesia akan sumber energi terbarukan dapat membuat transisi energi ramah lingkungan menjadi masa depan yang cerah bagi Indonesia. Misalnya, komoditas karbon yang menjadi andalan di Indonesia dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Bhima merujuk pada program pendanaan kemitraan transisi energi internasional yang adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati di KTT G20 Bali. Dalam kesepakatan itu, akan ada suntikan modal sebesar US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun untuk mengembangkan komoditas tersebut.
Namun, masalah lainnya adalah investasi itu hanya bisa terjadi jika sesuai dengan Perpres 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Sementara Perpres 112 tahun 2022, menurutnya masih ada beberapa hal yang belum jelas. Misalnya, soal pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Buktinya pembangunan PLTU di kawasan industri masih diperbolehkan. Jadi ini kan kontradiksi ya," ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah saat ini menggadang-gadang mobil listrik yang dinilai ramah lingkungan. Tetapi bahan baku baterai yang digunakan adalah dan juga bauksit, di mana smelter menggunakan batubara yang merupakan energi kotor atau fosil. Ia mengatakan situasi itu terjadi lantaran transisi energi masih terhambat oleh kepentingan politik yang lebih berpihak pada sektor pertambangan. Alhasil, upaya mendorong transisi energi di Indonesia menjadi tak konsisten.
Karena itu, ia berharap ada pemisahan yang jelas agar tidak terjadi konflik kepentingan di level eksekutif maupun legislatif. "Jangan sampai transisi energinya menjadi cherry picking," kata Bhima
Bhima tak menampik bahwa Indonesia memang dilirik oleh banyak negara, terutama negara maju karena potensi energi terbarukan yang dimiliki sangat besar dan memiliki pasar karbon yang besar. Tapi kalau masih dikendalikan oleh elit yang memiliki kepentingan di sektor ekstraktif, menurut kekayaan itu tak akan maksimal. "Ini hanya solusi yang tanggung nantinya," tutur Bhima.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: PLN - Amazon Teken Kesepakatan untuk Proyek Tenaga Surya
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini