TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tetap kukuh meminta pemerintah tak mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 sebagai landasan penetapan upah minimum provinsi (UMP) maupun upah minimum kabupaten dan kota (UMK. Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani menilai aturan itu mengamanatkan data yang digunakan dalam penetapan UMP dan UMK harus berdasarkan dari data yang transparan.
"Dengan demikian proses penetapan upah minimum lebih transparan, efisien dan hasilnya menggambarkan kondisi riil yang sesungguhnya," kata Hariyadi kepada Tempo pada Sabtu, 19 November 2022.
Baca: Jokowi Undang Pengurus Apindo ke Istana Negara
Ia menjelaskan beleid tersebut telah disempurnakan melalui Undang-undang (UU) 11 tahun 2020 juncto PP 36 tahun 2021, di mana data yang digunakan untuk menetapkan upah harus bersumber dari instansi yang berwenang. Hal itu, kata dia, terbukti dari penerapannya selama dua tahun terakhir.
Menurut Hariyadi, penetapan upah minimum di pada 2022 berdasarkan PP 36 tahun 2021 telah berlangsung dengan kondusif. Pasalnya, penetapan upah kala itu telah memperhatikan disparitas upah antar daerah, tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan.
Sementara penetapan upah minimum menggunakan UU 13 tahun 2003 harus didahului oleh survey tripartit, (yaitu dari pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja atau buruh), di mana tidak ada standarisasi sumber data yang digunakan. "Itu menyebabkan penetapan upah minimum hanya menjadi bahan negosiasi yang seringkali hasil akhirnya tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya," kata dia.
Karena itu, penetapan upah minimum berdasarkan UU 13 tahun 2003 selama ini telah menimbulkan disparitas upah minimum antar kabupaten atau kota, walaupun di wilayah provinsi yang sama.
Khawatir perubahan PP 36 tahun 2021 sebagai acuan formula pengupahan, Hariyadi pun menyoroti soal ancaman resesi global pada 2023 yang akan berdampak negatif pada dunia usaha. Hal itu, menurut dia, sudah mulai dirasakan pada sektor padat karya yang berorientasi ekspor, seperti industri alas kaki, garmen, dan produk tekstil lainnya.
Apindo mencatat hingga saat ini, terjadi penurunan pesanan ekspor secara berturut-turut sebesar 50 persen dan 30 persen. Sehingga, ia memprediksi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) akan semakin jelas di depan mata.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Apindo pun meminta agar pemerintah mempertimbangkan ihwal peningkatan investasi dalam mendorong penciptaan lapangan kerja dan mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi. Ia berharap pelaksanaan UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dan seluruh aturan turunannya tetap diberlakukan. Namun, tetap disertai pengawasan yang intensif oleh aparat pemerintah.
"Hal ini menjadi penting dalam rangka menjaga adanya kepastian hukum," ucapnya. Sebab, kebijakan yang tidak konsisten, tuturnya, dapat menimbulkan ketidakpercayaan investor terhadap iklim usaha di Indonesia. Khususnya investor asing. Ia mengaku khawatir situasi itu dapat meningkatkan angka pengangguran dan akhirnya meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: KSPI dan Partai Buruh Gelar Aksi Unjuk Rasa di Depan Balai Kota DKI Jakarta
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini