TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Penny K Lukito menanggapi ihwal gugatan yang dilayangkan Komunitas Konsumen Indonesia kepada BPOM atas kasus gagal ginjal akut pada anak. Ia menilai gugatan terhadap BPOM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah langkah yang salah.
"Salah sekali ya, melakukan gugatan ke PTUN itu, karena tidak paham mereka. Salah sekali," kata Penny K Lukito dalam konferensi pers virtual pada Kamis, 17 November 2022.
Menurutnya, kasus gagal akut pada anak terjadi ketika sedang ada kelangkaan bahan baku obat. Situasi itu memberikan celah pada pelaku industri yang curang dengan mengoplos bahan obat dengan bahan pelarut EG dan DEG di atas batas aman.
"Jadi ada satu industri farmasi menerima satu batch bahan pelarut yang terdiri dari tiga drum, dua drumnya kami cek, memenuhi persyaratan 0,1 persen EG dan DEG-nya (ambang batas aman), satunya lebih dari 90 persen kandungannya, bayangkan itu, artinya itu memang pelarut EG dan DEG," ucapnya.
Pelaku pengoplosan itu pun memalsukan label produsen multinasional bahan baku obat sirup Dow Chemical dari Thailand untuk mengelabui produsen obat.
Baca Juga:
Komunitas Konsumen Indonesia menggugat BPOM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan dilakukan atas dugaan BPOM lalai dalam pengawasan obat sirup sehingga menyebabkan gagal ginjal akut pada anak atau gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA).
Sebelumnya, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum penguasa yang dilakukan oleh BPOM RI pada 11 November 2022.
Ia mengaku telah menyampaikan petitum agar majelis hakim menyatakan BPOM RI melakukan perbuatan melawan hukum penguasa. Kemudian, meminta majelis hakim menghukum BPOM RI untuk melakukan pengujian seluruh obat sirup yang telah diberikan izin edar. Terakhir, meminta majelis hakim menghukum BPOM RI untuk meminta maaf kepada konsumen dan masyarakat Indonesia.
Gugatan diajukan karena BPOM dinilai telah melakukan pembohongan publik sehingga cukup beralasan digugat perbuatan melawan hukum penguasa. “Pertama karena tidak menguji sirup obat secara menyeluruh. Pada 19 Oktober 2022, BPOM RI sempat mengumumkan 5 obat memiliki kandungan cemaran EG/DEG. Namun pada 21 Oktober BPOM RI merevisi dua obat dinyatakan tidak tercemar,” kata David melalui keterangan tertulis pada 14 November 2022.
Kedua, pada 22 Oktober lalu, BPOM RI mengumumkan 133 obat dinyatakan tidak tercemar. Kemudian pada 27 Oktober, BPOM RI menambah 65 obat sehingga total 198 obat tidak tercemar EG dan DEG oleh pengumuman BPOM. Namun pada 6 November BPOM menyatakan hanya 14 obat sirop dari 198 obat sirop yang tercemar EG/DEG.
“Konsumen dan masyakat Indonesia seperti dipermainkan. Tindakan tersebut jelas membahayakan karena BPOM RI tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk mengawasi peredaran sirop obat dengan baik,” ujar David.
Alasan ketiga yakni tindakan BPOM RI untuk mengawasi obat sirop ini tergesa-gesa. Selain itu, tindakan BPOM RI yang melimpahkan pengujian obat sirop kepada industri farmasi merupakan pelanggaran asas umum pemeringahan yang baik, yakni asas profesionalitas.
“Badan publik seperti BPOM seharusnya melakukan tugas dan wewenang untuk menguji sendiri, bukan diserahkan ke industri farmasi,” tuturnya.
RIANI SANUSI PUTRI | EKA YUDHA SAPUTRA
Baca Juga: Berikut 168 Daftar Obat Sirup Bebas EG dan DEG Berdasarkan Data BPOM
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.