TEMPO.CO, Jakarta - Bank Rakyat Indonesia (BRI) merespons positif kerja sama Bank Indonesia dengan Bank Sentral Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina, meluncurkan sistem pembayaran digital terintegrasi.
“Langkah tersebut sejalan dengan keinginan BRI untuk mengedepankan transformasi digital dalam sistem layanan jasa perbankan, termasuk pembayaran menggunakan QR,” ujar Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto kepada Tempo, Rabu, 16 November 2022
Aestika menyebut transaksi digital melalui QRIS BRI saat ini mencapai Rp 5 triliun atau tumbuh 20 kali lipat ketimbang tahun 2021, dengan jumlah merchant sekitar 2,8 juta. Aestika optimistis jumlah transaksi ini terus bertambah setiap bulan.
Baca: Antar UMKM Naik Kelas, BRI Perkuat Ekosistem Bisnis Berbasis Ekonomi Kerakyatan
Untuk transaksi QRIS BRI Cros Border, Aestika menyatakan pihaknya akan mengoptimalkan sistem tersebut karena hubungan transaksi antar negara berdampak baik untuk pertumbuhan masing-masing negara. “Dengan adanya sistem transaksi lintas negara, kami memiliki target dapat meningkatkan transaksi sebesar 15 persen dari transaksi eksisting di BRI,” ujar Aestika.
Dengan kebijakan keuangan ini, lanjut Aestika, BRI berharap bisa mendapat kemudahan dalam melakukan penetrasi, baik dalam transaksi di merchant maupun customer. BRI juga terus melakukan edukasi kepada merchant melalui tim marketing secara langsung dan melalui media blast mengenai implementasi QRIS Cross Border. Terlebih, kebiasaan masyarakat terus mengarah ke transaksi digital pasca pandemic Covid-19.
Adapun kerja sama keuangan antara lima negara ASEAN ini diresmikan dalam dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Senin, 14 November 2022. “Apa yang kita saksikan bukan hanya nota penandatangan kesepahaman, tapi sejarah menuju digitalisasi,” ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali, Senin, 14 November 2022.
Perry menyebut ada tiga hal yang bakal dicapai dalam kebijakan keuangan lima negara ASEAN tersebut. Pertama, transaksi lima negara di ASEAN akan lebih cepat melalui sistem fast payment. Sistem pembayaran digital ini akan mengikis waktu transaksi yang semula bisa sampai 2 hingga 5 hari.
“Konversi mata uang lokal antar-negara juga akan lebih ringkas lantaran tidak melalui dolar lebih dulu,” ujar dia.
Kedua, pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di lima negara ini akan lebih cepat naik kelas karena memiliki akses-akses pasar baru. Melalui integrasi pembayaran, lanjut Perry, masyarakat bisa langsung melakukan pembayaran untuk transaksi produk UMKM antar-negara. Kebijakan ini pun dirasa bakal menguntungkan Indonesia yang memiliki setidaknya 65,5 juta pelaku UMKM.
“Ketiga, konektivitas transaksi digital lima negara bakal mendorong percepatan transformasi digital,” ujar Perry. Transformasi digital merupakan salah satu agenda yang dibahas dalam KTT G20.
Direktur Eksekutic Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara juga mengatakan bahwa standarisasi pembayaran di ASEAN tersebut merupakan terobosan yang harus didukung. Bhima melihat potensi penarikan lebih banyak devisa dari sistem ini. Terutama devisa dari sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Menurut Bhima, sistem pembayaran terintegrasi ini juga perlu terus didorong. Dari momentum KTT G20, kerja sama bisa diperluas dengan negara-negara peserta. Namun, pemerintah juga perlu memperhatikan keamanan data pengguna.
“Faktor keamanan dan perlindungan data harus diperhatikan juga. Harus distandarisasi karena ini menyangkut transaksi,” ujar Bhima kepada Tempo, Selasa, 15 November 2022.
RIRI RAHAYU | FRANSCISCA CHRISTY ROSANA
Baca: RI Prediksi Kredit Properti Naik 14 Persen setelah BI Perpanjang Kebijakan DP Nol Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini