Hal serupa, menurut Eddy, juga sebetulnya diharapkan bisa dilakukan di Tanah Air. Sejumlah perusahaan berharap pemerintah memberikan kelonggaran agar bisa hanya menggaji karyawannya berdasarkan pro rata jam kerja.
"Kalau bahasa medianya itu, no work no pay. Tapi sebetulnya bukan itu. Kita ingin meminta satu kelonggaran pada masa ini untuk bisa mengurangi jam kerja supaya kita tidak melakukan PHK," kata Eddy.
Eddy menyebutkan hal tersebut bisa jadi jalan keluar yang tak mungkin dihindari. Sebab, karyawan saat ini tidak bekerja dengan penuh atau hanya bekerja setengah hari atau 70 persen dari biasanya karena total order yang tidak mencukupi.
Di sisi lain, ia mengungkapkan tak ingin terus menerus melakukan PHK. Karena, jika nanti keadaan mulai pulih dan perusahaan membutuhkan karyawan kembali, perusahaan memerlukan upaya lebih besar untuk untuk merekrut orang baru. "Perlu semacam upaya seperti kita merekrut karyawan baru, yang harus memberikan pelatihan dan sebagainya," kata dia.
Sebelumnya, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat mengungkapkan usulan 'no work no pay' itu menunjukan bahwa kelompok pengusaha hari ini semakin rakus dan hanya mementingkan keuntungan untuk dirinya sendiri. "Menyakiti hati buruh dan minim empati pada kondisi buruh," ucapnya melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Sabtu, 12 November 2022.
Aspek pun menyanggah pernyataan asosiasi pengusaha yang berdalih bahwa aturan no work no pay diperlukan untuk mencegah terjadinya PHK. Dalih itu, kata Mirah, hanya omong kosong dan dibuat-buat dan alasan untuk melepaskan dari tanggung jawab membayar hak-hak pekerja atau buruh. "Karena sebetulnya mereka tidak mau bertanggung jawab untuk mensejahterakan pekerja/buruhnya sendiri," kata Mirah.
Baca juga: 8 Perusahaan Startup dan Aplikasi yang Melakukan PHK Massal di 2022
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.