TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi IV DPR Sudin menanggapi pernyataan Ketua Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi soal kenaikan harga beras kualitas medium sebesar 4,26 persen. Sudin mempertanyakan mengapa harga di tingkat konsumen bisa naik sementara Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim terjadi surplus beras sebesar 6 juta ton.
"Berarti hukum dagang tidak berlaku. Supply dan demand tidak menentukan. Menurut Kementan kita surplus 6 juta ton tiba-tiba turun dari 10 ton. Tapi di tingkat konsumen kenaikan harga 4 sekian persen?" ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Bapanas, Perum Bulog, dan Holding Pangan di Gedung DPR RI, Jakarta Selatan pada Rabu, 16 November 2022.
Ia menekankan jangan sampai pemerintah berbelit-belit soal swasembada dan surplus beras. Swasembada terjadi ketika pasokan mencukupi kebutuhan nasional. Tetapi bila Kementan mengklaim pasokan surplus, berarti beras yang ada saat ini seharusnya melebihi kebutuhan nasional.
Baca: Jakarta Bakal Kebanjiran Stok Beras, Begini Penjelasan Kepala Bapanas
"Surplus yang 6 juta ton ini ada atau tidak ada, hanya pejabat yang di Ragunan (kantor Kementan) sama Tuhan yang tahu," kata Sudin.
Bapanas mencatat stok Bulog per hari ini di bawah target 1,2 juta ton, yaitu hanya 650 ribu ton. Sebetulnya, kata Arief, target penyerapan beras yang ditugaskan pada Bulog sebesar 1,5 juta ton. Namun pemerintah telah mengoreksi target menjadi 1,2 juta ton karena saat ini harga gabah dan beras sedang melonjak.
Harga Gabah dan Beras Naik
Arief menjelaskan saat ini harga gabah di tingkat produsen dan harga beras di tingkat konsumen terus meningkat sejak Juli 2022. Harga gabah kering panen atau GKP naik sebesar 15,7 persen dan harga beras medium naik 4,26 persen. Ia menjelaskan harga beras naik karena memang ada kesetimbangan baru akibat ada kenaikan BBM beberapa bulan lalu. Selain itu, terjadi kenaikan biaya produksi, seperti komponen pupuk.
Oleh karena itu, Perum Bulog kesulitan untuk menyerap gabah di petani karena terhambat biaya yang dimiliki. "Bulog biasanya untuk menerima Rp 8.300 per kilogram sangat mudah, hari ini sudah tidak bisa," tutur Arief. Ketika fleksibilitas dinaikkan menjadi Rp 8.800 per kilogram pun, kata Arief, Bulog tidak bisa menyerap dengan baik.
Selanjutnya: Ia menunjukkan adanya kenaikan kontribusi dari stok ...