TEMPO.CO, Jakarta -Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Presiden Cina Xi Jinping akan menyaksikan uji dinamis Kereta Cepat Jakarta - Bandung pada Rabu sore, 16 November 2022. Kedua kepala negara rencananya melihat uji dinamis secara virtual dari area Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Bali.
Uji dinamis kereta cepat dilakukan setelah Jokowi menutup KTT G20 Presidensi Indonesia. Showcase uji dinamis sore ini itu belum dilakukan menyeluruh. Nantinya, rangkaian kereta cepat (EMU) akan dijalankan hanya dari Tegalluar sampai ke Cikopo.
Namun, Tempo merangkum berbagai masalah dalam proyek sepur kilat itu. Mulai dari pembengkakan biaya (cost overrun), progres pembangunan, hingga masalah teknis yang terjadi selama proyek itu berjalan. Berikut detailnya:
1. Beda Cost Overrun
Proyek KCJB menghadapi tantangan anyar yakni perbedaan perhitungan pembengkakan biaya antara pihak Indonesia dan Cina. Sumber Tempo yang mengetahui persoalan ini mengatakan selisih perhitungan pembengkakan biaya antara pihak Indonesia dan Cina—yang ditinjau Badang Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP)—cukup besar. Dokumen yang diperoleh Tempo mengkonfirmasi hal tersebut.
Pada asersi pertama BPKM di awal 2022, nilai pembengkakan biaya proyek kereta cepat ditaksir sebesar US$ 1,176 miliar \. Jumlah itu bertambah setelah BPKP melakukan asersi kedua pada triwulan III 2022. Dalam hasil asersi yang dilaporkan kepada Komite Kereta Cepat, BPKP memperkirakan jumlah cost overrun kereta cepat sebesar US$ 1,449 miliar (sekitar Rp 22,2 triliun pada kurs Rp 15.331 per dolar Amerika Serikat).
Penambahan nilai pembengkakan pada asersi kedua itu bersumber dari perhitungan tambahan biaya keseluruhan pembangunan konstruksi, perpajalan, serta relokasi fasilitas dan fasilita umum yang terkena dampak pembangunan jalur kereta cepat. Namun, itu belum mencakup semua kebutuhan dana proyek, karena masih ada hal lain yang perlu ditinjau.
Dua aspek lain yang belum dihitung oleh BPKP tapi berpotensi turut menambah pembengkakan biaya adalah komponen perubahan harga yang akan diajukan grup kontraktor High Speed Contractor Consortium (HSRCC). Besarannya belum diketahui pasti karena masih menunggu hasil penilaian Dewan Penyelesaian Sengketa.
Kemudian ada alokasi dana cadangan sebesar 5-8 persen dari nilai kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksi. Jika dua komponen ini dihitung, diperkirakan estimasi total cost overrun kereta cepat akan mencapai 1,9 miliar (sekitar Rp 29,1 triliun).
Menurut Juru bicara BPKP, Eri Satriana, sejauh ini lembaganya belum menerima permintaan asersi ketiga dari pemerintah atas cost overrun kereta cepat. Namun, kata dia, dalam asersi kedua, BPKP memang telah memperhitungkan sejumlah komponen, seperti perpajakan, yang mempengaruhi hasil review.
"Hasil review dan rekomendasi telah kami serahkan kepada yang meminta (Kementerian BUMN)," kata Eri, melalui jawaban tertulis.
Berbeda dengan perhitungan versi Indonesia, pihak Cina membuat perhitungan pembengkakan biaya dengan nilai lebih rendah. Besaran cost overrun versi Cina tercatat sebesar US$ 982 juta. Sumber Tempo mengatakan, selisih besaran yang cukup jauh itu disebabkan oleh beberapa komponen yang tidak diperhitungkan Cina, misalnya soal biaya persinyalan.
Jika ditambah perhitungan pembengkakan biaya versi BPKP, nilai total proyek kereta cepat yang semula sebesar US$ 6,07 miliar, membengkak jadi US$ 7,5 miliar (sekitar Rp 115 triliun). Sedangkan jika ditambah dengan perhitungan versi Cina, nilai keseluruhan proyek menjadi US$ 7,05 miliar (sekitar Rp 107 triliun).
Adapun jika ditambahkan dengan potensi cost overrun sebesar US$ 1,9 miliar, nilai proyek menggelembung jadi US$ 7,97 miliar, atau sekitar Rp 122 triliun. Jumlah itu hampir menyamai anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023.