TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Andri Perdana, menilai kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen tidak terlalu berdampak besar bagi pendapatan negara. Kenaikan cukai rokok akan berlangsung pada periode 2023-2024.
“Masyarakat Indonesia kemungkinan masih banyak yang mempertahankan konsumsi rokok walau harganya naik. Tapi, ada kemungkinan terjadi penurunan permintaan sehingga kenaikan pendapatan negara tidak akan setara dengan tingkat kenaikan cukai,” ujar Andri ketika dihubungi, Kamis, 10 November 2022.
Andri menuturkan, biasanya, pendapatan negara meningkat lantaran pengusaha rokok memborong pita cukai sebelum kenaikan tarif. Namun, permohonan penyediaan pita cukai (P3C) itu harus dilakukan pengusaha tiga bulan sebelum pemesanan.
Baca: Inilah 4 Alasan Cukai Rokok Naik 10 Persen Menurut Sri Mulyani
“Karena pengumuman kali ini sudah berada di akhir tahun, pengusaha tidak bisa melakukan pemborongan sebelum harga naik atau yang biasa disebut dengan forestalling,” ujar Andri. Disis lain, dia melihat kenaikan harga rokok pun akan menimbulkan munculnya rokok-rokok ilegal.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memaparkan berbagai pertimbangan atas ditetapkannya kenaikan tarif CHT untuk rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Alasannya, pemerintah sedang berupaya menurunkan prevalensi merokok anak dan remaja usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada 2024 sesuai dengan RPJMN 2020-2024.
"Khususnya yang ingin kita turunkan adalah prevalensi merokok untuk anak dan remaja. Di RPJMN 2024, kita punya target prevalensi merokok anak dan remaja di level 8,7 persen," kata Febrio dalam media gathering di Bogor, Jumat 4 November 2022.
Pertimbangan kedua, industri yang berkaitan dengan keberlanjutan industri hasil tembakau, kesejahteraan tenaga kerja, dan petani tembakau. Namun, menurut dia, kenaikan tarif CHT ini akan berdampak kecil terhadap tenaga kerja di industri.
Kemudian, ketiga, aspek penerimaan negara dilakukan karena kebijakan ini akan mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. "Kita lihat kenapa penerimaan CHT kita relatif cukup stabil dan tetap kuat dari tahun ke tahun, karena memang dalam konteks ini perokok itu masih bertambah," kata Febrio.
Keempat, aspek penanganan rokok ilegal, dimana mitigasi risiko penting dilakukan untuk mencegah peredaran produk rokok ilegal. Sehingga, ekosistem industri tembakau di dalam negeri dapat lebih sehat.
RIRI RAHAYU | ANTARA
Baca: Cukai Rokok 2023 dan 2024 Naik 10 Persen, Ini Kajian dan Pertimbangan Kemenkeu
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini