TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah diminta tak hanya mengobral komitmen menangani krisis iklim dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP) ke-27 yang berlangsung di Mesir. COP27 tersebut sebelumnya telah menetapkan visi yang menempatkan kebutuhan manusia di jantung upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati mengatakan kunci dari percepatan merujudkan komitmen untuk mempercepat transisi energi bergantung pada kemauan politik pemerintah.
"Saat ini sudah darurat iklim, kita tidak butuh 'bla bla bla' komitmen lagi. It's time to act,” ujar Annisa dalam keterangannya, Senin, 8 November 2022. Ia mengatakan kolaborasi semua pihak sangat dibutuhkan, baik itu dari pihak pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat.
Adapun pada Presidensi COP27, Indonesia yang diwakili Wakil Presiden Ma’ruf Amin, membahas isu perubahan iklim dengan memaparkan target penurunan emisi. Isu yang diangkat cukup krusial, menurut Annisa, namun memiliki sejumlah opsi kebijakan problematis.
Dalam target nationally determined contribution atau NDC barunya, pemerintah berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca dari sebelumnya 29 persen menjadi 31,89 persen secara mandiri. Adapun dengan bantuan internasional, pemerintah meningkatkan target penurunan emisi karbon dari 41 persen menjadi 43,2 persen.
Baca juga: COP27, Rishi Sunak Tagih Janji Upaya Atasi Perubahan Iklim
Target NDC tersebut dibangun berdasarkan beberapa kebijakan pemerintah setahun terakhir di sektor-sektor penghasil emisi terbesar. Misalnya, FoLU atau sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya serta energi.
Annisa menegaskan komitmen pemerintah terhadap perubahan iklim harus segera diwujudkan dengan langkah-langkah nyata, seperti mitigasi, adaptasi, hingga mempersiapkan pendanaan. Ia pun mengapresiasi pernyataan Ma'ruf yang mendesak negara-negara maju menggandakan penyediaan pendanaan iklim kolektif mereka untuk adaptasi iklim di negara-negara berkembang. Hal tersebut dapat diperkuat melalui peta jalan yang konkret.
Termasuk, pengaturan pendanaan pada kerugian dan kerusakan yang akan didirikan berdasarkan Kerangka Kerja UNFCCC. Selain itu, presidensi COP27 telah memusatkan perhatian dunia pada elemen-elemen kunci yang memenuhi beberapa kebutuhan paling mendasar, termasuk ketahanan air, ketahanan pangan, kesehatan, dan ketahanan energi.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien menekankan upaya-upaya mitigasi krisis iklim, perlindungan hutan, dan pelaksanaan transisi energi. Transisi energi, kata dia, harus dilaksanakan dengan nilai-nilai yang akuntabel, transparan dan partisipatif, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM.
"Terutama melindungi kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat terdampak, termasuk masyarakat adat," katanya.
Andi berharap tak hanya sumber energi yang berubah, tetapi juga pola-pola pembangunan secara keseluruhan. Partisipasi publik, menurut dia, harus dibuka sejak proses perencanaan hingga implementasi. Selain itu, pola perizinan dan pengadaan lahan yang dilakukan untuk proyek-proyek strategis nasional juga harus dievaluasi.
"Jangan sampai janji-janji pembangunan berkelanjutan dan transisi energi adil hanya diumbar, tapi implementasinya jauh panggang dari api. Terlebih, dengan adanya UU Cipta Kerja yang semakin menegasikan lingkungan dan ekonomi yang lestari serta urgensi mitigasi perubahan iklim," ucapnya.
DEFARA DHANYA PARAMITHA
Baca juga: Di COP27, PLN Sebut Telah Kurangi 31 Juta Matriks Ton Emisi Karbon dan Percepat Pensiun PLTU
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.