TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2022 yang melebihi ekspetasi terjadi karena low base effect atau basis yang rendah. Sebab, pada kuartal ketiga tahun lalu, terjadi gelombang kasus Covd-19 disertai pembatasan sosial yang ketat sehingga membuat ekonomi tumbuh lambat.
“Kalau sekarang mobilisasi longgar, wajar masyarakat kembali beraktivitas ekonomi. Kemudian motor dari harga komoditas ikut sumbang net ekspor,” ujar Bhima kepada Tempo, Selasa, 8 November 2022.
Masalahnya, kata Bhima, indikator yang terkesan positif bisa berbalik arah di kuartal berikutnya dengan kenaikan tingkat inflasi, suku bunga pinjaman, tekanan biaya produksi manufaktur dan pelemahan kurs rupiah. Situasi ini pun bisa jadi akan jauh berbeda sehingga pemerintah tidak bisa lengah.
Baca: Ancaman Resesi Global 2023, Ini 6 Sektor yang Menjanjikan di Pasar Modal
Bhima melanjutkan sektor manufaktur padat karya perlu menjadi perhatian pemerintah. Sebab, transmisi resesi global ke PHK massal di sektor manufaktur Indonesia bisa terjadi akibat melemahnya permintaan ekspor dari negara yang mengalami gejala resesi, seperti Eropa dan Amerika Serikat. Biasanya, hal ini akan berdampak pada sektor ekspor pakaian jadi dan alas kaki. Brand yang memutuskan menyetop order membuat pabrik di Indonesia melakukan PHK massal.
Faktor penyebab lainnya, kata Bhima, adalah biaya bahan baku impor yang naik. Pelemahan nilai tukar rupiah yang membuat biaya bahan baku membengkak akhirnya disikapi perusahaan dengan efisiensi tenaga kerja.
“Ditambah naiknya suku bunga pinjaman. Kalau dicek profil keuangan perusahaan yang PHK, utangnya besar sekali jadi sensitif terhadap naiknya bunga pinjaman,” kata Bhima.
Karena itu, menurut Bhima, pemerintah sudah semestinya mengeluarkan paket kebijakan penangkal PHK masal. Di antaranya dengan relaksasi tarif PPN agar kelas menengah atas berbelanja. Kemudian, pemerintah harus membantu produk pakaian jadi masuk pasar domestik serta mengendalikan produk impor.
“Kemudian, memperbesar porsi bantuan subisidi upah ke sektor padat karya ditambah memberi bansos agar yang telanjur kena PHK tidak jatuh miskin,” ucap Bhima
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sepanjang kuartal III, ekonomi Indonesia tumbuh 5,72 persen secara year on year. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III ketimbang triwulan II 2022 atau secara quarter to quarter (q to q) adalah 1,81 persen.
“Secara kumulatif dari kuartal I sampai kuartal III 2022 dibandingkan dengan periode yang sama dengan 2021, ekonomi Indonesia tumbuh 5,40 persen,” ujar Kepala BPS, Margo Yuwono dalam konferensi pers virtual, Senin, 7 November 2022.
Margo juga mengatakan pertumbuhan kuartal III melambat ketimbang kuartal II. Masalah tersebut, kata dia, sudah menjadi pola musiman. Meski demikian secara year on year, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III kian kuat dan menuju ke arah pemulihan.
“Di tengah kondisi global yang tidak menentu, kita masih bisa menjaga perekonomian kita,” ucap Margo.
Pertumbuhan ekonomi triwulan III sedikit lebih tinggi ketimbang yang diperkirakan Kementerian Keuangan (Kemeneku), yakni sebesar 5,5 persen year on year. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan perkiraan tersebut dilihat dengan berbagai indikator, mulai mobilisasi, indeks penjualan retail, dan Mandiri Spending Index yang semuanya masih dalam situasi yang positif dan ekspansif.
Baca juga: Khawatir Resesi Jadi Dalih PHK Massal, Buruh: Menteri Jangan Menakut-nakuti Ekonomi Gelap
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.