TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP Serikat Petani Indonesia (SPI) Mujahid Widian mengatakan meski nilai tukar petani (NTP) naik, pembenahan sektor pertanian Indonesia mendesak dilakukan. Sebab, menurut dia, tantangan yang dihadapi oleh masing-masing subsektor pertanian kian kompleks.
"Harus ada sinkronisasi antara kondisi riil di lapangan dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah," ucapnya kepada Tempo pada Ahad, 6 November 2022.
Salah satu masalah pertanian yang ia soroti adalah situasi yang terjadi pada subsektor tanaman pangan. Pemerintah menyebutkan luas panen dan produksi gabah pada 2022 mengalami kenaikan. Namun, ia menilai, kondisi yang terjadi di tingkat petani bertolak belakang.
Bertentangan dengan klaim pemerintah, kondisi di lapangan menggambarkan bahwa harga gabah dan beras kini terus naik akibat rendahnya produksi pada musim panen sebelumnya. Jika persoalan ini tidak diantisipasi, Mujahid khawatir pemerintah akan salah dalam menghitung stok maupun cadangan pangan nasional.
"Lalu impor akan kembali dilakukan untuk menstabilisasi keadaan. Pada akhirnya kembali lagi petani yang terkena dampaknya, kesejahteraannya," ucap Mujahid.
Sementara itu untuk tanaman perkebunan, Mujahid menuturkan pemerintah cenderung mengabaikan konsumsi maupun kebutuhan di dalam negeri. Misalnya untuk minyak goreng sawit yang masih menjadi orientasi utama untuk ekspor komoditas tersebut.
Baca: Diperintah Jokowi Cek Stok Beras Nasional, Mentan: Saya Diberi Waktu Satu Minggu
“Upaya untuk mengedepankan kepentingan dalam negeri belum terlihat dari subsektor tanaman perkebunan rakyat," kata dia.
Ia pun merujuk pada data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional di akhir Oktober hingga awal November ihwal kenaikan harga minyak goreng sawit. Tercatat harga minyak goreng sawit curah naik menjadi Rp14.600 per kilogram. Sejalan dengan itu, harga minyak goreng kemasan juga naik menjadi Rp 20.050 per kilogram.
"Kita mewanti-wanti jangan sampai terjadi kenaikan harga minyak goreng seperti yang sebelumnya," ucap Mujahid.
Menurutnya, pemerintah harus kembali kepada prinsip-prinsip kedaulatan pangan sebagai dasar perumusan kebijakan pertanian dan pangan di Indonesia. Ia menuturkan kedaulatan pangan sebagai sebuah paradigma pembangunan pertanian dapat mendorong negara menentukan pangannya secara mandiri.
Kedaulatan meliputi alat dan sistem produksi serta pemasaran di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan untuk menghasilkan pangan tanpa tergantung dari kekuatan pasar internasional. Hal itu selaras dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Mujahid menilai kedaulatan pangan relevan dengan kekhawatiran pemerintah Indonesia ihwal ancaman krisis pangan global pada 2023. Dengan kedaulatan pangan, menurutnya, kebutuhan nasional dan dalam negeri menjadi prioritas utama. Kepentingan para petani dan masyarakat pedesaan sebagai produsen pangan juga menjadi tak terabaikan.
Bagi SPI, kata Mujahid, upaya mewujudkan kedaulatan pangan tersebut bisa dilakukan dengan mendorong lahirnya Kawasan Daulat Pangan (KDP) di wilayah-wilayah Indonesia. Melalui KDP, orientasi pemenuhan pangan dapat diubah, yakni pemenuhan kebutuhan pangan di sekitar area ataupun kawasan, bukan untuk ekspor yang hanya menjadi bagian dari rantai pasok global.
“Artinya pangan itu harus terlebih dahulu dipentingkan untuk diri sendiri atau kepentingan domestik, baru setelah itu dapat diberikan ke tempat lain," ucapnya. Kebijakan itu juga akan berpengaruh pada metode produksi, dimana dalam kedaulatan pangan, pertanian yang didorong adalah pertanian agroekologi yang berbasis pada pengetahuan lokal, lingkungan, dan berkelanjutan.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: Perpadi Sebut Stok Beras Nasional Masih Banyak
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini