TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan meski nilai tukar petani (NTP) meningkat hingga 0,42 persen menjadi 107,27, petani masih belum merasa sejahtera. Pasalnya, menurut Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian, masih ada kenaikan biaya produksi dan biaya modal (BPPBM).
"Hal yang perlu dicatat dari NTP adalah kenaikan indeks biaya produksi biaya modal (BPPBM), misalnya seperti biaya pembelian pupuk, biaya transportasi dan biaya produksi lainnya, sementara terjadi penurunan biaya konsumsi rumah tangga," ucapnya kepada Tempo, Ahad 6 November 2022.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan NTP Oktober 2022 dikarenakan indeks harga yang diterima petani mengalami kenaikan sebesar 0,29 persen, sementara indeks harga yang dibayar petani mengalami penurunan sebesar 0,13 persen.
Ia menjelaskan kenaikan NTP Oktober 2022 juga dipengaruhi oleh naiknya lt pada dua subsektor NTP, yakni tanaman pangan sebesar 1,07 persen dan tanaman perkebunan rakyat sebesar 1,70 persen. Sementara subsektor lainnya mengalami penurunan, yaitu subsektor hortikultura sebesar 4,14 persen, peternakan sebesar 0,81 persen, dan perikanan sebesar 0,04 persen.
Mujahid pun menyoroti kenaikan NTP subsektor tanaman pangan yang terlihat dari kenaikan harga gabah dan beras akhir-akhir ini. Setelah 7 bulan belakangan terpuruk, ucapnya, akhirnya NTP subsektor tanaman pangan berada di atas standar impas. Hal tersebut dipengaruhi oleh kenaikan kelompok padi hampir di setiap wilayah Indonesia.
Menurutnya, kenaikan harga padi disebabkan oleh berkurangnya jumlah beras di pasar. Kenaikan harga terjadi seiring dengan jumlah beras dan padi yang berkurang selama Oktober, baik akibat gagal panen maupun musim panen sudah mencapai puncaknya, yang panen sedikit.
SPI mencatat di daerah Tuban, Jawa Timur misalnya, harga gabah kering panen (GKP) mencapai Rp5.500 hingga Rp5.700 per kilogram. Selain itu, harga GKP di Indramayu, Jawa Barat juga mengalami kenaikan menjadi Rp6.000 per kilogram.
Namun ia menjelaskan pada subsektor tanaman pangan ini juga terjadi kenaikan biaya pembelian pupuk, biaya transportasi dan biaya produksi lainnya. Ditambah biaya konsumsi rumah tangga pun terus menurun.
Sementara subsektor perkebunan rakyat menurutnya, kini tengah melanjutkan tren positif. NTP subsektor perkebunan rakyat naik 1,70 persen dibandingkan bulan sebelumnya. BPS mencatat kelapa sawit dan kopi adalah komoditas yang menyumbang kenaikan NTP tersebut.
Untuk komoditas kelapa sawit, harga tandan buah segar atau TBS di tingkat petani mengalami kenaikan secara bertahap sejak kebijakan pelarangan ekspor crude palm oil (CPO) pada April 2022 lalu. Saat ini di tingkat petani harga TBS berkisar Rp 1.800 per kilogram sampai Rp 2.300 per kilogram. Sementara untuk di tingkat pabrik, ia menilai perbedaan harga bisa mencapai Rp 400 per kilogram dibandingkan harga di tingkat petani. "Tergantung dengan biaya angkut dan letak kebun," ujarnya.
Kenaikan harga TBS tersebut juga didorong oleh kebijakan pemerintah untuk menggenjot ekspor CPO dengan membebaskan pungutan ekspor (PE). Kebijakan itu sudah dimulai pada Juli 2022 dan sebenarnya berakhir pada 31 Oktober 2022 lalu. Namun kini diperpanjang lagi hingga Desember 2022.
Petani di subsektor perkebunan juga mengalami kendala yang sama yakni kenaikan biaya produksi dan modal. Seperti, kenaikan biaya pembelian pupuk, biaya transportasi dan biaya produksi lainnya.
Adapun NTP di subsektor hortikultura mengalami penurunan. Hal itu disebabkan oleh turunnya dua kelompok penyusun NTP Hortikultura, yakni sayur-sayuran. Khususnya, harga cabai merah dan cabai rawit yang turun 5,47 persen dan buah-buahan, khususnya mangga dan semangka yang turun 0,74 persen.
“Penurunan harga cabai terasa sangat signifikan, hal ini juga terjadi di beberapa wilayah anggota SPI seperti di Kampar, Bantul, sampai dengan Kediri," kata dia.
Ia menjelaskan ada beberapa faktor penyebab penurunan harga dua komoditas itu, antara lain tingginya harga cabai tinggi beberapa waktu lalu membuat banyak petani beralih ke tanaman cabai, sehingga produksi berlimpah. Selain itu faktor cuaca juga berpengaruh, karena bisa membuat kualitas cabai menjadi berkurang dan harganya menjadi lebih rendah.
Sama halnya dengan subsektor tanaman pangan dan perkebunan, menurutnya perlu dicatat bahwa di subsektor hortikultura, terjadi juga kenaikan indeks biaya produksi biaya modal. "Meski kenaikannya tidak sebesar di petani tanaman pangan dan perkebunan," tuturnya.
Berkaca dari situasi masing-masing subsektor NTP di atas, Mujahid menyebutkan pembenahan terhadap sektor pertanian Indonesia kini sudah mendesak untuk dilakukan. Hal ini mengingat tantangan yang dihadapi oleh masing-masing subsektor semakin kompleks.
“Untuk tanaman pangan misalnya, pemerintah menyebut bahwa luas panen dan produksi di tahun 2022 mengalami kenaikan. Namun kondisi yang terjadi di tingkat petani justru menunjukkan situasi yang bertolak belakang," kata dia.
ia menyoroti harga gabah dan beras yang kini terus naik akibat rendahnya produksi di musim panen sebelumnya. Menurutnya, harus ada sinkronisasi antara kondisi riil di lapangan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Jika hal itu tidak diantisipasi, tuturnya, bukan tidak mungkin pemerintah akan salah perhitungan terkait stok maupun cadangan pangan nasional kita.
"Lalu impor akan kembali dilakukan untuk menstabilisasi keadaan. Pada akhirnya kembali lagi petani yang terkena dampaknya, kesejahteraannya," ucap Mujahid.
RIANI SANUSI PUTRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini