TEMPO.CO, Jakarta -Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atau OJK Mirza Adityaswara mengungkapkan lembaga tersebut telah memutuskan untuk menormalisasi kebijakan yang diterapkan selama masa pandemi Covid-19. Normalisasi kebijakan itu dilakukan meski tekanan ekonomi global masih menghantui.
Mirza mengatakan normalisasi kebijakan yang ditempuh ini diantaranya pencabutan relaksasi batas waktu penyampaian laporan keuangan lembaga jasa keuangan. Menurut Mirza, kebijakan relaksasi yang bersifat administratif ini akan dinormalisasi secara bertahap ke depannya.
"Hal ini mencermati perkembangan pandemi dan aktivitas ekonomi di mana lembaga jasa keuangan dinilai telah dapat beradapatasi dengan kondisi new normal," kata Mirza saat konferensi pers hasil rapat dewan komisioner OJK, Kamis, 3 November 2022.
Selain itu, dia melanjutkan, OJK dalam waktu dekat juga akan mengumumkan respons kebijakan yang bersifat targeted dan sektoral untuk mendukung keberlanjutan pemulihan ekonomi dari dampak tekanan yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19 selama ini.
"Namun demikian OJK akan terus melakukan penyelarasan kebijakan dengan mempertimbangkan dinamika perekonomian global dan domestik yang diperkirakan masih terus berubah utamanya di 2023," ujar Mirza.
Kendati begitu, ia mengungkapkan OJK tetap mempertahankan sejumlah kebijakan yang dimanfaatkan selama masa pandemi Covid-19 untuk menghadapi tekanan ekonomi global di tahun mendatang. Diantaranya, kebijakan yang digunakan untuk mengelola volatilitas di pasar keuangan.
"OJK mempertahankan beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan untuk menjaga volatilitas pasar, diantaranya pelarangan transaksi short selling dan pelaksaanan trading halt untuk penurunan IHSG sebesar 5 persen," ucapnya.
OJK, kata dia, juga terus melakuan pemantauan berkelanjutan terhadap kinerja industri reksadana, demi memastikan redemption di industri reksadana dapat tetap berjalan teratur di tengah gejolak suku bunga pasar dan meningkatnya risiko liquiditas di pasar keuangan.
OJK menurut Mirza juga akan mengevaluasi eksposure valuta asing, termasuk pinjaman komersial pinjaman luar negeri, di tengah tren penguatan dolar AS dan mendorong lembaga jasa keuangan melakukan langkah yang dapat memitigasi risko nilai tukar yang masih akan meingkat.
Menurut Mirza, semua langkah yang diputuskan dalam rapat dewan komisioner itu diarahkan untuk mewaspadai dampak dari risiko pemburukan ekonomi global saat ini meskipun stabilitas sektor jasa keuangan masih terjaga sejauh ini.
Risiko pemburukan ekonomi itu menurutnya dipicu pengetatan kebijakan moneter yang agresif, tekanan inflasi, serta fenomena strong dolar. Permasalahan itu berpotensi menaikkan cost of fund dan memengaruhi ketersediaan likuiditas, sehingga pada gilirannya akan memengaruhi pertumbuhan konsumsi dan investasi.
"Pergerakan suku bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi meningkatkan risiko pasar yang berpengaruh pada portofolio lembaga jasa keuangan. Selain itu risiko kredit juga berpotensi meningkat seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi," kata dia.
Baca Juga: OJK: Kredit Perbankan Masih Tumbuh 11 Persen Menjadi Rp 6.274,9 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.