TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS), Marwan Batubara, menyoroti Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang membolehkan Perusahaan swasta yang dikenal sebagai Independent Power Producers (IPP) menjual listrik langsung kepada konsumen.
“Saya harap Kemenkeu bersikap konsisten menolak skema power wheeling, meski harus berhadapan kekuasan oligarkis, karena skema power wheeling akan meugikan negara, PLN dan rakyat sebagai konsumen listrik,” ujar Marwan melalui keterangan tertulisnya, Jumat, 28 Oktober 2022.
Baca: Pakar UGM Usul Energi Nuklir untuk Atasi Masalah Kapasitas Transisi EBT
Menurut Marwan, saat ini negara dan rakyat sudah dirugikan dengan kebijakan dan peraturan perlistrikan Indonesia. Kerugian tersebut antara lain berupa peningkatan subsidi listrik di APBN dan mahalnya tarif listrik.
Dia mengatakan kerugian masyarakat bertambah jika skema power wheeling diterapkan. Pasalnya, kata Marwan, dengan konsep multi buyers single sellers (MBSS) yang membolehkan IPP membangun pembangkit listrik, membuat PLN wajib membeli listrik yang diproduksi. Karena biaya pokok penyediaan (BPP) listrik harus memperhitungkan seluruh daya yang dibangkitkan, maka over supply listrik swasta tersebut telah membuat BPP listrik naik, dan ujungnya konsumen listrik dan APBN harus membayar tarif lebih mahal.
Kedua, setelah wajib menerima pasokan listrik IPP, PLN pun harus membeli listrik tersebut dengan harga sesuai skema take or pay (TOP). Dengan TOP, PLN harus membeli listrik IPP lebih lebih besar dari yang dibutuhkan. Hal ini pun menambah beban biaya operasi yang berujung pada kenaikan BPP, tarif listrik dan beban subsidi APBN. Bahkan dalam kondisi kahar (force majeure) akibat pandemi covid-19—yang mestinya bisa menjadi alasan pengurangan beban biaya—pemerintah tak mampu memaksa IPP mengoreksi skema TOP.
“Ketiga, dengan skema power wheeling, di samping over supply listrik yang telah mencapai 50 persen hingga 60 persen padahal seharusnya cukup sekitar 20 persen, tidak akan terserap atau berkurang signifikan, maka pelanggan premium PLN yang biasanya mengkonsumsi daya besar pun dan menguntungkan PLN, akan dimangsa oleh IPP,” ujar Marwan.
Praktis, hal tersebut membuat pangsa pasar atau pendapatan PLN akan turun. Sedangkan tarif listrik akan naik, kemampuan cross-subsidy PLN ke daerah-daerah terpencil atau rendah konsumen akan berkurang, dan beban subsidi listrik APBN akan naik.
Keempat, lanjut Marwan, pemanfaatan sarana jaringan transmisi dan distribusi PLN oleh IPP akan membuat IPP penyedia listrik EBT memperoleh untung besar. Padahal PLN harus menanggung beban investasi sarana tersebut secara berkepanjangan, termasuk jika kurs US$ terhadap Rupiah terus naik.
“Apalagi jika tarif power wheeling yang diterapkan sesuai daya yang disalurkan, dan bernilai alakadarnya tapi sekaligus mengandung unsur pemaksaan seperti pada skema TOP. Maka PLN sebagai objek berburu rente oligarki akan berlangsung massif,” kata dia.
Kelima, kata Marwan, konsep MBMS dan skema power wheeling merupakan kelanjutan dari agenda liberalisasi terselubung kelistrikan Indonesia yang sebelumnya telah dimulai dengan konsep MBSS dan penjualan listrik kawasan dan lingkungan tertutup. Dengan MBMS dan power wheeling, liberalisiasi kelistrikan Indonesai menjadi lengkap dan sempurna. Maka rezim oligarkis dengan sangat berani dan terbuka akan mengkhianati Pancasila dan UUD 1945.
Lima hal tersebut menurut Marwan menunjukkan bahwa masalah kelistrikan nasional dan tariff listrik yang mahal merupakan akibat dari keijakan pemerintah yang sarat kepentingan pengusaha atau IPP. Karenanya, pemerintah mesti bertanggung jawab.
“Kita bukan tidak paham tentang perlunya penyediaan energi bersih dan mitigasi perubahan iklim atau target net-zero emissions pada 2060. Namun target tersebut bukanlah alasan yang bisa diterima rakyat begitu saja, termasuk dengan menyeludupkan konsep liberal MBMS dan power wheeling ke dalam RUU EBT,” ujar Marwan.
Baca: Airlangga: Transisi Energi Harus Terjangkau dan Bisa Diakses Semua Orang
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini