TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menanggapi rencana Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang ingin menyerbu pasar ekspor Timur Tengah karena daya beli di Amerika Serikat dan Eropa sedang turun. Selain itu, Kemendag mulai melirik pasar Afrika Utara.
Menurut Bhima, langkah Kemendag mencari alternatif pasar baru tersebut terlambat. Sebab saat ini, sudah banyak negara eksportir lainnya yang melirik pasar ekspor yang sama.
"Kalau melihat dari pasar Timur Tengah, banyak juga sekarang pelarian saingan dari Indonesia yaitu Vietnam, Bangladesh. Bahkan dari Etiopia, itu juga mulai merajai pasar Timur Tengah," kata dia melalui pesan pendek pada Jumat, 28 Oktober 2022.
Walau pertumbuhan ekonomi di Timur Tengah dan Afrika Utara mencapai 5,5 persen pada 2022--menyitir data Indonesia Monetary Fund (IMF)--menurut dia strategi Kemendag itu belum tentu berhasil untuk mengatasi melemahnya ekspor di Indonesia. Selain itu, kedua negara diprediksi akan mengalami perlambatan ekonomi menjadi 3 persen.
Baca juga: Impor Turun Nyaris 11 Persen, Mendag: Tekanan Nilai Tukar dan Konsumsi Domestik
"Jadi itu kita harus lebih cepat bergerak lah. Gunakan itu atase perdagangan, perwakilan kamar dagang yang ada di negara-negara Afrika Utara, Timur Tengah, untuk cari pasar mana yang bisa dijadikan pengalihan ekspor," ucap Bhima.
Adapun komoditas ekspor Indonesia yang mengalami penurunan daya beli adalah industri tekstil, alas kaki, dan garmen. Bhima menilai, profil industri tersebut banyak yang bersifat outsourcing dari merek internasional. Maka, kebijakan untuk pengalihan pasar akan sangat bergantung pada merek internasional.
Bhima kemudian menyarankan agar pemerintah membuat strategi berkomunikasi yang baik dengan merek-merek tersebut supaya mereka tetap memilih Indonesia sebagai basis produksi. Lebih lanjut, Bhima pun menyoroti faktor kualitas produk dan selera masyarakat di Timur Tengah. Ia menilai dua faktor itu berbeda dengan konsumen di Eropa dan Amerika. Karenanya, Indonesia memerlukan watu untuk merengkuh pasar tersebut.
"Barang atau baju Amerika dan Eropa tentu warnanya atau jenis kainnya memiliki perbedaan. Ada karakter khusus. Nah, ini mungkin perlu mendapatkan perhatian juga," tuturnya.
Di sisi lain, menurutnya, pemerintah harus konsisten memberikan berbagai relaksasi untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) atas imbas dari penurunan ekspor itu. Misalnya, menaikan subsidi upah untuk sektor-sektor tersebut. Kemudian, pemerintah perlu memberi insentif pajak dan relaksasi. Ia pun memperingatkan harus ada pengendalian impor produk-produk di sektor yang terdampak.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengutarakan niat pemerintah untuk mendorong pembukaan pasar ekspor ke Timur Tengah, Afrika, Eropa Timur, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Menurutnya, kawasan-kawasan itu selama ini belum banyak dijajaki oleh Indonesia.
Alternatif pasar ekspor itu terbuka di tengah esesi global. Zulkifli Hasan menyatakan resesi adalah kesempatan bagi Indonesia untuk menyerbu pasar negara-negara yang dinilai kuat menghadapi krisis.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca juga: Mendag Zulhas Sebut RI Incar Pasar Non-Tradisional Asia Selatan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.