TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyan Indrawati mengingatkan ancaman resesi yang mengintai ekonomi global pada 2023. Resesi bisa terjadi karena pelbagai faktor, mulai perubahan iklim hingga meningkatnya tensi geopolitik.
Bendahara negara pun mengatakan APBN akan terus menjadi instrumen untuk menjaga stabilisasi perekonomian. Namun jika ancaman-ancaman ini tidak diantisipasi, APBN akan bocor.
Baca Juga:
“Tantangan-tantangan masyarakat dan ekonomi yang continuously di bawah tekanan dan shock ini bukan kaleng-kaleng, istilahnya shock-nya sangat besar, yang memang kemudian jika APBN sendiri tidak tahan, APBN-nya jebol duluan, kalau APBN jebol duluan, ekonomi ikut jebol,” katanya di Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2022.
APBN, kata Sri Mulyani, akan tetap berperan sebagai shock absorber. APBN selalu menjadi instrumen penahan tekanan gejolak krisis, sama halnya seperti pada masa pandemi Covid-19.
Dia pun berharap APBN tetap mampu merespons gejolak global sehingga ketahanan ekonomi di dalam negeri terjaga. Mantan Diektur Bank Dunia itu pun menyampaikan tata-kelola APBN perlu terus dijaga. Sebab jika salah pengelolaan, keberadaannya bukan hanya merugikan perekonomian, melainkan dapat memicu krisis global.
Kondisi itu sebelumnya menimpa Inggris dan Sri Lanka. Inggris mengalami inflasi tertinggi dalam 40 tahun, sedangkan Sri Lanka bangkrut dan produk domestik brutonya minus hingga 8,4 persen.
Sri Mulyani menyebut tantangan yang masih perlu diwaspadai pada tahun depan adalah ancaman akibat perubahan iklim dan ketegangan geopolitik yang terus berlangsung sehingga menyebabkan disrupsi pasokan global yang memicu lonjakan inflasi. Lonjakan inflasi secara global pun memicu bank sentral di banyak negara mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga secara agresif.
Baca juga: Mulai Jokowi, Sri Mulyani hingga Bos IMF Berpesan Soal Resesi, Apa Benang Merahnya
Sri Mulyani Indrawati menyatakan laporan terbaru dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) perlu menjadi perhatian. Menyitir isi laporan tersebut, Sri menyebut pemanasan global bisa sangat buruk pada 2100 jika perubahan iklim akibat tingginya emisi karbon bumi diabaikan.
"Dikatakan bahwa pada 2100, dunia pasti kalau tetap status seperti sekarang, akan lebih hangat 2,6 derajat centigrade. Ini adalah level kenaikan suhu yang melewati batas toleransi," kata Sri.
Sri Mulyani melanjutkan, laporan ini perlu menjadi perhatian dan harus segera diantisipasi karena dampaknya bakal mengancam dunia. Sehingga, berimplikasi kuat terhadap perekonomian.
Adapun pemburukan pemanasan global atau global warming tersebut menyebabkan bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, semakin tak terduga. Sri Mulyani pun menekankan proyeksi pemanasan global itu dapat terjadi di luar batas toleransi.
Sebelumnya pada 2015, negara-negara dunia telah batas toleransi pemanasan global sebesar 1,5 derajat centigrade dalam Perjanjian Iklim Paris. "Anda tidak tahu, kalau dunia menghangat 1,5 derajat centigrade atau more, tidak hanya Kutub Utara dan Kutub Selatan, mencair, permukaan naik, tapi juga pola musiman berubah sama sekali," tuturnya.
BISNIS | ARRIJAL RACHMAN
Baca juga: Sri Mulyani Berharap AIIB Dukung Negara Anggota Terapkan Transisi Rendah Karbon Secara Adil
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini