TEMPO.CO, Jakarta - Seniman FX Harsono menilai aturan yang memungkinkan produk kekayaan intelektual, termasuk seni, menjadi objek jaminan utang bagi lembaga keuangan bank dan nonbank sebagai hal yang tak masuk akal. Ia bahkan menyebut aturan itu absurd, khususnya bila diterapkan untuk produk seni rupa.
Sebab, kata Harsono, hingga kini belum ada standar yang jelas dari seorang seniman dalam memberikan harga. "Seniman bahkan cenderung tidak terbuka mengatakan harga karyanya kepada publik," ujarnya dalam diskusi Karya Seni Rupa Sebagai Jaminan Fidusia di Jakarta Selatan, Kamis 27 Oktober 2022.
Aturan yang ia sorot adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana UU Ekonomi Kreatif. PP yang disahkan pada 12 Juli 2022 tersebut terus menjadi topik hangat di kalangan seniman di Tanah Air.
Baca: Jokowi Teken PP Ekonomi Kreatif, Kekayaan Intelektual Bisa jadi Jaminan Utang di Bank
Menurut Harsono, dengan kekhususan sifat seni rupa itu, para seniman akan kesulitan saat mengajukan karyamya untuk jadi jaminan utang bagi lembaga keuangan bank maupun nonbank. Berbeda halnya dengan seni musik, film, atau penerbitan, yang ukurannya lebih jelas.
“Untuk seni rupa, saya tidak bisa membayangkan sebuah karya seni bisa ditentukan harganya oleh suatu lembaga,” ujar Harsono.
Lebih jauh, kata Harsono, penentuan harga karya seni rupa selama ini tidak memiliki mekanisme khusus. Sebuah lembaga lelang bisa terbilang paling terbuka dalam menjelaskan harga suatu seni rupa. Namun harga tersebut juga tidak bisa dipakai untuk pegangan untuk menilai produk seni rupa lainnya.
Dengan begitu, ia menilai akan sangat sulit bagi perupa untuk menjadikan kekayaan intelektualnya sebagai jaminan fidusia. Sebab, tidak ada mekanisme yang pasti terkait penentuan harga karya seni dan faktor pertimbangannya.
Sebelum benar-benar diterapkan, Harsono menyatakan semestinya harus melakukan sosialisasi dan berdiskusi dengan berbagai pelaku seni di Indonesia. Dengan demikian, seniman akan mengerti bahwa peraturan tersebut bisa diaplikasikan.
Selanjutnya: “Setiap kesenian berbeda-beda. Berbeda cara memproduksinya, memasarkannya,..."