TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Rakyat Trenggalek berkukuh menolak tambang emas di wilayahnya. Pada Senin hingga Selasa, 24-25 Oktober, warga Trenggalek penolak tambang itu menyambangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Koordinator Aliansi Rakyat Trenggalek, Mukti Saktiti, menyebut pihaknya mendesak pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) untuk tambang emas milik PT Sumber Mineral Nusantara atau SMN. Sebab, masyarakat setempat khawatir aktivitas pertambangan ini akan memicu bencana banjir dan tanah longsor.
Kehadiran mereka ke Kementerian ESDM Senin kemarin pun, kata Mukti, salah satunya untuk menanyakan surat permohonan pencabutan IUP oleh PT SMN yang dilayangkan Bupati Trenggalek pada 18 Mei 2021. Pemerintah daerah tersebut, bersama warga, sudah menyatakan menolak aktivitas pertambangan.
“Sejak 9 Oktober 2022, wilayah Trenggalek yang masuk ke konsesi tambang emas oleh PT SMN mengalami bencana banjir, tanah gerak, dan tanah longsor skala besar,” kata Mukti ketika ditemui di Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jakarta, Selasa, 25 Oktober 2022.
Soal perizinan tambang PT SMN, Mukti mengatakan restu eksplorasi awal sudah terbit sejak 2005. Eksplorasi itu sempat diberhentikan sementara oleh Bupati Trenggalek pada 2014 seusai ada demo masyarakat yang menolak kegiatan eksplorasi di Desa Sumberbening.
Namun ternyata, IUP untuk PT SMN terbit pada 2019. Informasi itu baru diketahui Mukti dan rekan-rekannya pada awal 2021. Dari situlah mereka lantas membentuk aliansi dan terus menyuarakan perlawanan.
“Aktivitas pertambangan sekarang belum dimulai, makanya kami cegat agar jangan sampai dilakukan,” kata Mukti.
Baca juga: Warga Trenggalek Geruduk Jakarta Tuntut Pemerintah Cabut Izin Tambang Emas
Merespons masalah ini, Rere Jambore Christanto dari WALHI menyoroti ihwal penerbitan IUP yang bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Trenggalek Tahun 2012-2032. Menurutnya, prosedur penerbitan IUP itu tidak tepat.
“Izin ini dikeluarkan di rezim RTRW itu. Pada konsensi yang diberikan, tidak ada peruntukan tambang. Artinya, dari sisi tata ruang sudah ada pelanggaran,” ujar Rere kepada Tempo, 25 Oktober 2022.
Dugaan pelanggaran lainnya, lanjut Rere, perusahaan semestinya menetapkan tanda tapal batas. Namun, sampai sekarang, PT SMN belum melakukannya.
Adapun soal ancaman dari aktvitas pertambangan, Rere mengatakan di wilayah Trenggalek setidaknya ada lima daerah aliran sungai (DAS) yang akan terdampak penambangan. Padahal, DAS tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekitar 50 ribu hektar sawah. Praktis, jika rusak akibat aktivitas pertambangan, masyarakat akan dirugikan.
“Salah satu potensi kerugian materinya ya ke kebutuhan air. Kalau rusak, masyarakat harus beli air yang sebelumnya gratis. Atau pemkab harus menyiapkan sarana prasarana air,” ujar Rere. Hal itu, secara otomatis berdampak pada perekonomian masyarakat.
Di samping persoalan air, potensi bencana juga mengintai Trenggalek bila wilayah ini dieksploitasi untuk pertambangan. Sebab, wilayah yang masuk area tambang berupa kawasan perbukitan.
Tempo berupaya menggali informasi lebih lanjut mengenai permasalahan warga Trenggalek atas tambang PT SMN di Trenggalek dengan menghubungi Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin. Namuh hingga kini, Tempo belum menerima jawaban.
Baca juga: Warga Trenggalek Desak ESDM Cabut Izin Tambang Emas: Belum Ditambang Sudah Hancur
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.