TEMPO.CO, Jakarta - Topik mengenai ancaman resesi global 2023 menjadi topik pembicaraan beberapa pekan terakhir. Beberapa tokoh mulai dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi hingga Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva membeberkan bagaimana dampak dari resesi tahun depan itu terhadap Indonesia.
Tempo merangkum beberapa pernyataan para tokoh tersebut mengenai bagaimana ancaman resesi global itu terjadi. Berikut detailnya:
1. Presiden Jokowi
Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa perekonomian dunia pada 2023 mendatang akan mengalami kegelapan atau resesi ekonomi global. Kepala Negara itu meminta masyarakat berhati-hati dengan ancaman itu mulai saat ini.
Baca: Cara Tokopedia Antisipasi Badai PHK di Tengah Ancaman Resesi
Dia menyatakan tahun 2023 diprediksi akan menjadi tahun gelap akibat krisis ekonomi, pangan, hingga energi akibat pandemi Covid-19 dan perang antara Rusia-Ukraina. Jokowi juga mengaku mendapatkan prediksi itu setelah mengobrol dengan Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), International Monetary Fund (IMF), hingga Kepala negara G7.
"Beliau-beliau menyampaikan 'Presiden Jokowi, tahun ini kita akan sangat sulit', terus kemudian seperti apa? 'Tahun depan akan gelap. Ini bukan indonesia, ini dunia, hati-hati," ujar Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat, 5 Agustus 2022.
Menurut penuturannya, kondisi ini akan mengancam pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga masyarakat dan semua pihak dihimbau untuk mempersiapkan disi sehingga tekanan yang dihadapi bisa diantisipasi sedini mungkin. Namun, tidak sedikit orang yang masih awam dan asing dengan istilah resesi global.
2. Menteri Keuangan Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan negara tengah mewaspadai kenaikan suku bunga yang berpotensi menimbulkan gejolak pasar keuangan. Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral negara-negara di dunia berpotensi menimbulkan resesi global.
"Tekanan inflasi global sudah direspons berbagai negara dengan kenaikan suku bunga yang drastis dan cepat," ujar Sri Mulyani dalam paparannya saat konferensi pers APBN Kita secara daring pada Senin, 26 Agustus 2022.
Sri Mulyani pun mencontohkan sejumlah negara yang secara agresif mengerek suku bunga untuk menahan gejolak inflasi. Inggris, misalnya, telah menaikkan suku bunga secara drastis sebanyak 150 basis poin.
Kemudian Amerika Serikat tercatat mengerek suku bunga yang lebih ekstrem mencapai 225 basis poin sejak awal 2022. Dalam empat dekade terakhir, kata Sri Mulyani, setiap kebijakan kenaikan suku bunga Amerika akan mengakibatkan krisis di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika Latin.
"Jadi kita harus mewaspadai spill over yang akan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan."
Selain Amerika, Bank Sentral Eropa telah melakukan normalisasi tingkat bunganya. Sejak awal 2022, Eropa mengerek suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin. Padaal pada 2020, suku bunga Eropa tercatat berada di level negatif.
Tak hanya di negara maju, kenaikan suku bunga secara agresif dilakukan oleh bank sentral negara emerging market. Brasil, misalnya, telah mengerek suku bunga sebanyak 400 basis poin. Mexico juga meningkatkan suku bunga 225 basis poin dan India 140 basis poin.
Kenaikan suku bunga ini, bendahara negara itu melanjutkan, guna merespons tekanan yang kuat dari inflasi akibat melonjaknya harga komoditas serta pemberian stimulus selama 2020-2021 untuk menahan dampak dari krisis pandemi Covid-19. "Risiko ekonomi bergeser dari pandemi sekarang menajadi risiko finansial melalui berbagai penyesuaian kebijakan dan inflasi yang tinggi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani melanjutkan, kondisi ini akan menimbulkan dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia, ucap dia, memperkirakan jika bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, resesi global akan terjadi pada 2023.
Selanjutnya: Strategi Pemerintah Redam Dampak Resesi Tahun Depan