TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Uganda mengklaim memiliki sekitar 31 juta bijih emas yang dapat diekstraksi menjadi 320.158 ton emas. Direktur Segara Institut Pieter Abdullah Redjalam menilai klaim Uganda tersebut baru berupa cadangan emas yang terkandung di negaranya.
"Bukan emas yang sudah mereka miliki. Jadi belum berdampak langsung ke supply-demand emas," tutur Piter saat dihubungi Tempo pada Ahad, 23 Oktober 2022.
Menurutnya, hasil eksplorasi Uganda itu juga belum akan berpengaruh pada harga emas. Terkait cadangan emas yang besar, ucap Piter, tidak hanya dimiliki oleh Uganda melainkan banyak negara. Tetapi, selama belum digali dan diolah utk kemudian menambah pasokan di pasar emas, maka tidak akan menjadi masalah.
"Tidak ada dampaknya ke pasar emas dan pasar keuangan," kata Piter.
Baca: Belum Mampu Beli Emas Batangan, Bisa Beli Emas Logam Mulia Gram Kecil
Sementara Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai meski belum terbukti atau belum menjadi emas yang siap dijualbelikan, temuan di Uganda dapat memberikan efek psikologis di pasar emas.
"Efeknya lebih ke psikologis dipasar emas. Penemuan cadangan emas dalam skala besar bisa menurunkan harga emas," tuturnya saat dihubungi Tempo pada Ahad, 23 Oktober 2022.
Menurutnya pasokan emas akan naik. Terlebih di tengah ancaman resesi ini, banyak investor yang lebih tertarik membeli dolar Amerika Serikat sebagai safe haven. Artinya, investor akan cenderung memilih jenis investasi yang diharapkan nilainya tetap bertahan atau meningkat di tengah turbulensi di pasar.
Selanjutnya: Prediksi Masa Depan Harga Emas Dunia
Harga emas pun bisa semakin merosot. Berdasarkan data RTI, harga emas di pasar spot turun sebesar 12,4 persen dalam enam bulan terakhir. Nilainya menjadi US$ 1.657 per ons. Sementara pada saat puncak pandemi di 2020, tuturnya, harga emas mencapai US$ 2.069 per ons.