TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pengusaha mengaku mulai merasa terbebani setelah suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate naik 50 basis poin. Bank Indonesia sebelumnya mengerek suku bunga dari 4,25 persen menjadi 4,75 persen per Oktober 2022.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan mulainya pengusaha mendukung kenaikan suku bunga untuk menjaga stabilisasi rupiah dan menjangkar inflasi yang terus naik. Namun kini, kenaikan 50 basis poin itu dirasa terlalu tinggi karena dibarengi tengah tekanan terhadap perekonomian global.
"Repotnya kebijakan moneter yang secara marathon menaikkan suku bunga acuan dari Agustus sebesar 25 basis poin, dilanjutkan September 50 basis poin, kembali dinaikkan 50 basis poin lagi," kata Ajib saat dihubungi pada Sabtu, 22 Oktober 2022.
Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan itu menganggap, kebijakan BI yang terus menerus menaikkan suku bunga acuan bakal mengurangi likuiditas yang beredar di masyarakat. Selain itu, kebijakan tersebut berpotensi memberikan sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Pengusaha akan membuat penyesuaian-penyesuaian proyeksi sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Risiko kebijakan ini akan terjadi pelambatan ekonomi," ujar Ajib.
Tren suku bunga acuan yang terus menanjak seiring dengan pemulihan ekonomi, kata Ajib akan memberikan risiko lain terhadap industri jasa keuangan di Indonesia. Misalnya, naiknya tingkat kredit macet.
Baca juga: BI Sebut Pertumbuhan Kredit Masih Tinggi Meski Suku Bunga Acuan Dinaikkan, Ini Buktinya
"Selain market dan daya beli masyarakat akan turun, risiko lainnya ada di peningkatan kredit macet. Kecuali pemerintah membuat program kelonggaran kredit dalam bentuk perpanjangan restrukturisasi," ujar Ajib.
Sebenarnya, kata Ajib, pengusaha mengakui bahwa BI sudah mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi berbagai dampak tingginya tingkat suku bunga acuan itu. Contohnya melalui perpanjangan relaksasi uang muka kredit atau DP 0 persen untuk sektor properti dan kendaraan bermotor. Dua sektor itu memiliki dampak rembetan yang paling panjang ke perekonomian.
"Program kebijakan ini relatif membantu menopang daya beli sektor properti dan kendaraan bermotor," ujarnya.
Kendati begitu, Ajib menilai, langkah BI itu tidak cukup menopang laju pertumbuhan ekonomi yang baru bangkit ke level di atas 5 persen. Menurut dia, pemerintah perlu berkontribusi mengeluarkan kebijakan relaksasi dari sisi fiskal, seperti menurunkan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk menjaga konsumsi. PPN yang berlaku saat ini adalah 11 persen atau naik 10 persen dari aturan sebelumnya.
"Kalau masih ada ruang fiskal, bisa juga kembali diberikan pengurangan pajak PPN, agar mengurangi kenaikan harga yang eskalatif," ujarnya.