TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan masalah kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu lalu tak terlepas dari larangan pemerintah mengekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya. Dia menilai kebijakan itu adalah keputusan terburuk sepanjang masa.
“Sebobrok-bobroknya pemerintah pasti bikin kebijakan ada yang diuntungkan ada yang dirugikan, ini enggak ada. Dirugikan semua. Pemerintah rugi, pengusaha dirugikan, rakyatnya dirugikan, dan petaninya dirugikan,” ujar dia di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur, Kamis, 20 Oktober 2022.
Faisal menjadi salah satu saksi ahli penggugat dalam sidang gugatan terhadap Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi. Penggugat adalah Sawit Watch bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli ini, Faisal mengatakan seharusnya pemerintah menentukan kebijakan berdasarkan analisis dampaknya. “Jadi sebelum mengambil kebijakan kan bisa dihitung, dampaknya siapa yang diuntungkan dan dirugikan bisa dihitung,” ucap Faisal.
Baca juga: Kemendag: Harga CPO Turun karena Kekhawatiran Resesi Global
Senada dengan Faisal, saksi ahli lainnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai kebijakan larangan ekspor CPO tidak mempunyai dasar karena basis datanya lemah. Larangan ekspor, kata dia, menggambarkan kepanikan pemerintah karena harga CPO kala itu melejit.
“Yang rugi siapa? Nah korban berikutnya selain masyarakat adalah petani sawit. Jadi tidak menyelesaikan masalah, petani sawit yang dikorbankan padahal petani sawit juga konsumen juga dari minyak goreng,” kata dia.
Padahal, kata Bhima, saat ekspor dilarang, kebutuhan domestik terhadap CPO sangat kecil. Walhasil, terjadi penumpukan stok sehingga harga tadan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani anjlok.
Bhima mengatakan kebijakan perihal sawit tidak bisa diputuskan secara ugal-ugalan. Sebab, imbasnya akan merembet. Dia mencontohkan, akibat adanya larangan ekspor, pasar sawit Indonesia akhirnya diambil alih oleh Malaysia. Oleh negara pengimpor sawit, Indonesia dianggap tidak memenuhi kontrak.
“Tapi apakah masalah di dalam negerinya selesai? Masih belum selesai. Jadi sekarang intinya harga minyak goreng terjangkau semata-mata karena harga CPO-nya turun, tapi kalau harga naik lagi masalah yang sama bisa terjadi lagi,” tutur Bhima.
Sejumlah aliansi masyarakat melayangkan gugatan kepada Jokowi dan Lutfi akibat kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu lalu. Deputi Direktur ELSAM sekaligus Tim Advokasi Kebutuhan Pokok Rakyat, Andi Muttaqien, mengatakan Jokowi dan Lutfi gagal atas kapasitasnya sebagai eksekutif.
“Mereka gagal dalam menanggulangi terjadinya kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng,” katanya saat melaporkan gugatan pada Kamis, 2 Juni 2022.
Andi pun membeberkan tiga gugatan yang dilayangkan organisasi kepada Jokowi dan Lutfi. Gugatan pertama adalah Jokowi dan Lutfi harus bertanggung jawab atas kegagalan mereka dalam menjamin pasokan minyak goreng agar tidak terjadi kelangkaan.
Gugatan kedua, Jokowi dan Lutfi diminta untuk melakukan stabilisasi harga minyak goreng. Andi mengatakan pelarangan ekspor yang diberlakukan sejak 22 April 2022 tidak memberikan hasil yang signifikan dalam menjaga harga sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET).
Andi mencatat, harga minyak goreng kemasan saat larangan ekspor dicabut masih tinggi, berkisar Rp 25 ribu per liter. Menurutnya, pelarangan ekspor juga menyebabkan banyak petani merugi.
Gugatan lainnya, organisasi masyarakat sipil ini meminta agar data hak guna usaha (HGU) dapat dipublikasikan secara transparan pada publik. Sebab, polemik minyak goreng tidak bisa diselesaikan di hilir saja, tapi perlu ada koreksi di bagian hulu.
Baca juga: Pihak Terdakwa Kasus Korupsi Minyak Goreng Sebut Kesaksian Tirta Hidayat Inkonsisten
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini