TEMPO.CO, Jakarta - Rumah Munia Salai pada Rabu malam, 28 September 2022, gelap tanpa listrik. Suami Munia lalu mengeluarkan petromak untuk menerangi ruangan depan rumah agar tamu - tamunya tak bersilaturahmi dalam gelap.
Munia tinggal di Desa Apara, yang berlokasi di sebuah pulau terpencil di Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Sampai tahun 2022, desa di pulau terluar Indonesia ini belum dialiri listrik PLN. Walhasil, saban malam Munia dan warga lain yang tak mampu membeli genset, harus gelap-gelapan.
Baca juga:
Di ruang tamu rumah Munia, tak ada kursi sehingga semua orang duduk dilantai, termasuk putra laki-laki Munia yang tak tahan kantuk pun tidur di lantai.
Jam menunjukkan pukul 20.30. Harusnya Munia mulai tidur karena sekitar pukul 5 pagi dia harus memulai aktivitasnya mengolah ikan balobo (Hemiramphidae).
Baca juga: Alien Mus: Potensi Sumber Daya Ikan Indonesia Melimpah
Munia adalah istri nelayan dan ibu rumah tangga yang membantu perekonomian keluarga. Perannya dalam menggerakkan roda ekonomi keluarga tak bisa disepelekan.
Ia mengolah hasil tangkapan suaminya agar bernilai tambah secara ekonomi, yakni dengan membuatnya menjadi ikan asin. Ikan balobo mentah di Desa Apara biasa dijual Rp 10 ribu untuk 7 ekor, namun saat sudah menjadi ikan asin, harganya Rp 60 ribu perkilogram atau sekitar 45 ekor.
Ilmu mengolah ikan balobo menjadi ikan asin ini sebenarnya sudah dipelajari Munia sejak masih gadis. Saat menikah, dia menggunakan keterampilan itu untuk mendorong ekonomi keluarga. Dalam sehari, Munia bisa mengolah sampai seribu ekor ikan balobo.
"Laki-laki yang identik dengan nelayan. Sebab nelayan itu orang tahunya yang pergi melaut. Saya tak tahu kalau saya ini pun bisa disebut nelayan," kata Munia kepada Tempo, yang menyambangi Desa Apara bersama tim dari ATSEA-2 project 2022.
Data yang diungkap Alo Tabela, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, populasi Kepulauan Aru sekitar 100.600 jiwa. Diperkirakan dari jumlah itu, 3 persennya adalah nelayan perempuan.
Itu artinya, Munia adalah satu dari ratusan perempuan pengasin di Kepulauan Aru yang berkontribusi dalam perekonomian keluarga dengan mengolah ikan balobo menjadi ikan asin. Ikan balobo atau yang juga disebut ikan julung-julung, ciri khasnya memiliki daging yang sangat putih dengan panjang sekitar 45 cm. Ikan ini banyak ditemukan di Kepulauan Aru.
Kepulauan Aru terletak di perairan antara Papua Nugini, Timor Leste, Nusa Tenggara Timur dan Australia. Usut punya usut, peran nelayan perempuan di Timor Leste pun sama seperti Munia, yakni berkontribusi sebagai roda penggerak ekonomi keluarga. Di tangan mereka pula, uang yang masuk dikelola agar pos-pos kebutuhan keluarga sebisa mungkin terpenuhi.
Luciana da Cunha, nelayan perempuan dari Rukun Ilimanu, Desa Uma Kaduak, Kecamatan Laklo, Kabupaten Manatutu, Timor Leste, menceritakan kehidupan sehari-harinya agar dapur tetap ngebul.
Luciana adalah ibu rumah tangga dengan 4 anak. Dia dan keluarganya rupanya baru setahun tinggal di pesisir pantai tetapi profesi sebagai nelayan sudah dilakoni selama 10 tahun.
Sebagai nelayan, Luciana sehari-hari menebar jaring ikan ke tengah laut dengan perahu. Dia mengaku tidak merasa takut ketika melakukan kegiatan tersebut.“Kegiatan saya sehari-hari sebagai nelayan adalah mendayung perahu bergantian dengan suami. Kami mencari ikan ke tengah laut setiap jam 4 pagi sampai jam 6 pagi. Alat yang kami gunakan untuk mengakap ikan adalah jala atau net fish dan mata pancingan,” kata Luciana.
Luciana da Cunha, nelayan perempuan dari Rukun Ilimanu, Desa Uma Kaduak, Kecamatan Laklo, Kabupaten Manatutu, Timor Leste, sedang menjahit jaring, 3 Oktober 2022. Sumber: istimewa
Ikan-ikan hasil tangkapan bersama suami setiap pagi akan langsung dijual ke pinggir jalan raya oleh Luciana. Sekembalinya, dia melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, menyiapkan sarapan untuk anak-anak ke sekolah.
Pekerjaan ibu rumah tangga selanjutnya adalah mengurus anaknya yang masih balita, yang kadang disambi dengan menjahit jala yang robek.
Luciana memastikan selama melakoni profesi sebagai nelayan perempuan sekaligus ibu rumah tangga, dia tidak pernah menghadapi deskriminasi, baik itu dari suami mau pun orang lain.
Uang hasil dari nelayan, ada yang untuk ditabung – ada pula yang digunakan bersama untuk membeli beras, membiayai sekolah anak-anak hingga menbeli pakaian untuk anak.“Saya senang melakukan dua pekerjaan sekalian menjadi nelayan dan ibu rumah tangga,” katanya.
Peran Perempuan di Sektor Perikanan