Sampai pertengahan tahun 1980-an, pusat perdagangan BBM sudah terbentuk di Singapura. Namun pusat perdagangan minyak mentah (crude) masih dipegang oleh Tokyo.
“Dengan tingginya biaya untuk berbisnis di Tokyo waktu itu dan diperparah oleh sulitnya mendapatkan likuiditas (uang) dari Bank, maka pusat perdagangan minyak mentah perlahan berpindah ke Singapura,” ujar Arcandra.
Akan tetapi, menurut Arcandra, berpindahnya trader minyak ke Singapura bukan hanya lantaran situasi di Tokyo yang kurang mendukung. Kunci utamanya tetap campur tangan pemerintah Singapura untuk kembali memberikan insentif pajak. Di sana, aktivitas perdagangan minyak dan BBM hanya dikenakan pajak 10 persen.
“Dengan kebijakan ini, ditambah dengan kemudahan dan kepastian berusaha maka berbondong-bondonglah trader pindah ke Singapura. Kesulitan dalam hal likuiditas di Tokyo mampu dicarikan jalan keluarnya di Singapura,” kata dia
Arcandra pun menilai campur tangan pemerintah Singapura menjadi kunci utama dalam pembangunan sektor energi. Pemerintah yang jeli melihat peluang dan mengeksekusinya dengan baik melalui kebijakan yang tepat.
“Kesuksesan kebjikan di satu sektor tergantung juga dari dukungan dari sektor lain, terutama sektor keuangan dan perpajakan. Indahnya sebuah sinergi,” kata dia
Melalui ekosistem bidang perdagangan minyak dan BBM yang terbentuk itulah, kata Arcandra, lahirlah pusat perdagangan komoditi lain, seperti bahan tambang dan mineral. “Selanjutnya kita menjadi saksi tumbuhlah Singapura menjadi pusat industri keuangan, IT dan pendidikan,” ujarnya.
Baca juga: Dirut PT Pertamina 2 Periode Nicke Widyawati, Kembali Masuk 50 Perempuan Berpengaruh Versi Fortune
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.