TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menanggapi langkah Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertahanan Nasional Hadi Tjahjanto yang memberikan hak guna bangunan (HGB) di Kawasan Ibu Kota Negara (IKN) selama 160 tahun kepada investor. KPA menilai pernyataan itu mencerminkan pemerintah seperti sedang menjadi perpanjangan tangan dan bekerja untuk kepentigan investor.
“Sikap yang ditunjukkan Menteri Hadi Tjahjanto lebih terkesan seperti calo tanah, alih-alih sebagai Menteri ATR/ BPN yang seharusnya bekerja memastikan penyelesaikan konflik agraria dan redistribusi tanah untuk rakyat,” ujar Sekretaris Jendral KPA Dewi Kartika lewat keterangan tertulis pada Kamis, 13 Oktober 2022.
Menurut Dewi, rencana yang disampaikan oleh mantan Panglima TNI sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Karena aturan tersebut hanya memandatkan pemberian HGB selama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun.
Baca: Tawarkan ke Investor HGB IKN 80 hingga 160 Tahun, BPN: Kita Akan Berikan Kemudahan
Di sisi lain, kata Dewi, UU PA 1960 juga tidak mengenal ketentuan pembaruan hak atas tanah, terlebih pembagian siklus dalam pemberian hak atas tanah. Dia juga menilai usulan pembaruan HGB di wilayah IKN yang saat ini sedang dikebut pemerintah tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
“Sebab, UU Cipta Kerja yang dijadikan landasan hukum telah dinyatakan Inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi,” tutur dia. “Pernyataan serampangan Menteri ATR/BPN itu memberi sinyal bahwa kepemimpinan di kementerian ini tidak berubah meskipun sudah dilakukan reshuffle.”
Selain itu, menurut KPA, rencana ini berpotensi meningkatkan letusan konflik agraria, ketimpangan dan monopoli tanah oleh badan usaha skala besar, terutama di Kawasan IKN. Sebab kawasan IKN berada di atas tanah dan wilayah masyarakat adat yang berpotensi akan merampas tanah dan ruang hidup jika pembangunan ini terus dilanjutkan.
“Hal ini dikarenakan proses penunjukan lokasi yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, tanpa pernah melibatkan partisipasi publik dan melakukan pengecekan hak atas tanah masyarakat,” ucap Dewi.
KPA juga menilai, upaya ini adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang dilakukan pemerintah terhadap UUPA 1960 demi memuluskan pembangunan proyek ambisius IKN ini. Sebagai payung hukum agraria nasional, UUPA 1960 merupakan terjemahan dari Pasal 33 UUD 1945.
“Dimana konstitusi kita menegaskan bahwa tanah dan air harus digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan melarang adanya monopoli tanah oleh segelintir kelompok,” kata dia.
Namun, situasi tersebut sangat bertolak belakang dengan perkembangan implementasi reforma agraria sebagai mandat konstitusi. Menurut Dewi, pemerintah selalu menggunakan berbagai alasan atas kemandekan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah untuk rakyat.
Keterbatasan wewenang, ketiadaan anggaran, ego-sektoral antar lembaga/ kementerian, hingga tumpang-tindih serta hambatan regulasi selalu menjadi dalih atas kemandegan tersebut. Selain itu, kata Dewi, berbeda jauh dengan sikap ambisius yang diperlihatkan pemerintah ketika berbicara kepentingan investasi dan pembangunan.
Selanjutnya: Alasan BPN Beri HGB 160 Tahun ke Investor IKN
“Berbagai upaya terus dilakukan demi mengundang investor ke IKN, meskipun dengan mengakali dan bahkan melabrak berbagai peraturan, Undang-Undang, bahkan konstitusi,” tutur Dewi.