TEMPO.CO, Jakarta - Bos Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) kembali memperingatkan peningkatan risiko resesi global karena pertumbuhan ekonomi negara maju melambat dan inflasi bergerak yang lebih cepat. Kondisi-kondisi ini yang kemudian memaksa The Federal Reserve (The Fed) terus menaikkan suku bunga serta menambah tekanan utang pada negara-negara berkembang.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyebutkan, Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar di dunia, pasar tenaga kerjanya masih sangat kuat tetapi kehilangan momentum. "Karena dampak dari biaya pinjaman yang lebih tinggi 'mulai menggigit', ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa, 11 Oktober 2022.
Tak hanya di Amerika Serikat, kata Georgieva, roda perekonomian di wilayah Eropa melambat karena harga gas alam melonjak. Ekonomi Cina pun melambat karena kebijakan zero Covid policy dan volatilitas di sektor perumahan.
Baca: Jokowi Sebut Perekonomian Global Tahun Depan Gelap, Apa itu Resesi Ekonomi?
Georgieva menjelaskan, IMF telah menghitung bahwa sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami kontraksi setidaknya dua kuartal berturut-turut tahun ini dan tahun depan. Ia memperkirakan perekonomian dunia bakal merugi hingga US$ 4 triliun hingga 2026.
Pada saat yang sama, menurut dia, pembuat kebijakan tidak dapat membiarkan inflasi menjadi 'kereta pelarian'.
"Jika Anda tidak melakukan (kebijakan) cukup, kami dalam masalah," kata Georgieva pada acara virtual yang memulai pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, Senin, 10 Oktober 2022.
Oleh karena itu, Georgieva menekankan bahwa dukungan fiskal harus tepat sasaran agar tidak memicu inflasi. Ia pun menilai dunia perlu membantu negara-negara berkembang dan berkembang sangat terpukul oleh pengetatan kondisi keuangan.
Selanjutnya: Presiden Bank Dunia menyebutkan 'bahaya nyata' dari kontraksi di seluruh dunia.