TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberi sinyal mengenai pelaksanaan perdagangan karbon. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana memastikan penyelenggaraan bursa karbon bisa segera berlangsung untuk mendukung energi bersih dan mengejar target net zero emission (NZE) pada 2060.
"Karena kita sudah melakukannya sejak 2020 lalu melalui uji coba beberapa pembangkit dan besok lusa mungkin kalau perekonomian makin membaik, karbon ini akan segera diimplementasikan (dilaksanakan)," kata Rida dalam acara Indonesia Sustainable Energy Week di Jakarta, Senin, 10 Oktober 2022.
Rida mengatakan perdagangan karbon bisa dilakukan di berbagai pembangkit yang telah dibangun dalam waktu dekat. Asal, perekonomian Indonesia dan dunia cepat pulih. Sebab, dia berujar, uji coba perdagangan karbon itu sudah berlangsung sejak 2020.
Dari sisi pengaturannya, Rida melanjutkan, pada dasarnya pemerintah sudah menyiapkan skemanya. Namun, implementasi perdagangan karbon itu membutuhkan dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terutama berkaitan dengan penetapan harganya.
Baca juga: Indonesia Belum Merdeka dari Energi Fosil, Ini 4 Saran dari Greenpeace
"Karena secara regulasi semuanya sudah siap, hanya dari sisi kekuatan APBN karena PLN adalah semuanya di pass through ke APBN, ini harus dihitung-hitung termasuk nanti harga karbon dan seterusnya," kata Rida.
Mulanya, penerapan perdagangan karbon--termasuk pengenaan pajak karbon--ditargetkan terwujud pada 1 April 2022 dengan skema cap and trade and tax. Namun, karena infrastrukturnya belum memadai, penerapan kebijakan tersebut ditunda.
Penerapan skema cap and trade and tax secara khusus berlaku untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan kapasitas 25-100 megawatt. Rencananya, kebijakan itu akan mulai efektif berlaku pada 2023.
Sejak awal tahun ini, Kementerian ESDM sudah menggodok regulasi berupa Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) pembangkit tenaga listrik. Adapun usulan mekanismenya, yakni Surat Persetujuan Teknis Eemisi (PTE) pada PLTU batu bara, diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui Ditjen Ketenagalistrikan. Kemudian, surat PTE diberikan kepada unit instalasi PLTU batu bara dalam satuan ton CO2e atau ton karbon dioksida ekuivalen dan berdasarkan nilai batas atas emisi (ton CO2e/MWh) yang dikalikan produksi bruto (MWh) yang direncanakan pada awal tahun.
Baca juga: Penundaan Implementasi Pajak Karbon, Keseriusan Pemerintah Dipertanyakan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini