TEMPO.CO, Jakarta - Penggunaan gas air mata dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Sabtu, 1 Oktober 2022, menuai kritik masyarakat. Tak hanya menimbulkan seratusan lebih korban jiwa, anggaran untuk pengadaan gas air mata disorot. Keengganan pembayaran pajak banyak disuarakan di media sosial.
“Kok saya jadi males bayar pajak, Pak. Daripada uang pajak saya dipakai bayar gaji manusia yang miskin adab. Apa langkahmu, Pak Sigit? Bapak nahkoda institusi ini. Malu sama senior Bapak Hoegeng, Pak. Buat apa bintang empat jika urus senior dan anggota saja tidak mampu,” tulis akun twitter @morphogofficial, Minggu, 2 Oktober 2022.
Rasa kecewa juga disampaikan warganet melalui akun @akang_hero. “Sedih dan miris melihat perlakuan aparat keamanan terhadap para penonton di Stadion kanjuruhan. APBN yang sebagian besar dihasilkan dari pajak rakyat dan sangat besar dialokasikan untuk mereka, ujungnya hanya untuk menggebuk dan menembaki gas air mata kepada rakyatnya. #kanjuruhan”, tulisnya.
Baca: Sri Mulyani: Perubahan Iklim Akan Menjadi Kejutan Global Selanjutnya Setelah Pandemi
Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, memberi jawaban. Dia mengatakan gugatan terhadap pembayaran pajak mesti disikapi dengan tenang, rasional, dan proporsional. Dia mengatakan, sciri genealogis pajak itu memaksa alias wajib. Maka sebagai pengimbang, pajak harus diputuskan dengan Undang-Undang. Jika dulu memaksa utk kepentingan perlindungan, kini paksaan dimensinya “quasi-voluhtary” sebagai bagian state-building.
“Meski sifat pajak itu memaksa, itu lebih untuk menjamin kepatuhan yang tinggi. Di sisi lain, belanja publik yang optimal dan akuntabel juga menjadi standar baru,” ujar Prastowo melalui akun Twitternya @prastow, Kamis, 6 Oktober 2022.
Prastowo menyebut kepatuhan membayar pajak di Indonesia secara umum meningkat dari tahun ke tahun. Dia juga menilai wajah perpajakan Indonesia saat ini selaras dengan kehidupan sehari-hari—baik sosial, kultural, maupun politik.
“Tanpa perlu saling menyalahkan, kalau dibahas akan panjang. Kita sepakat pajak ini penting, maka harus terus diperkuat. Gotong royong paripurna,” kata Prastowo.
“Kita memang berharap praktik kontrol publik selayaknya di negara maju, ketika dengan gagah dan lantang kita berteriak: I am a taxpayer! Untuk menegaskan semua aktivitas publik didanai warga negara melalui pajak,” ujar Prastowo.
Dari sisi pemerintah, Prastowo menyebut kualitas belanja publik yang baik merupakan keniscayaan. Uang pajak harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UU. “Tentu saja belum semua terwujud. Ini adalah proyek panjang ke-Indonesiaan,” katanya.
Prastowo juga menyebut kebutuhan pajak yang meningkat dengan kesadaran wajib pajak menjadi tantangan ke depan. Tantangan lainnya, penguatan otoritas pajak dan instansi yang membelanjakan uang pajak juga transparan dan akuntabel.
Upaya membangun trust dan kepatuhan, kata Prastowo, juga terus dilakukan. “Sejak perubahan official ke self-assesment, reformasi administrasi, sunset policy, tax amnesty, hingga program pengungkapan sukarela. Lalu penguatan transparansi dan kerjasama perpajakan internasional,” kata dia.
Prastowo menyebut tuntutan transparansi dan ajakan boikot pajak menemukan pijakan moral ketika ada tindakan atau belanja yang tidak sesuai. Hal tersebut menjadi bagian kontrol politik yangg harus diperhatikan. “Jangan sampai alat atau sarana yang metinya untuk melayani berbalik menjadi malapetaka bagi warga negara”
“Namun seyogyanya pula tak emosional dan gegabah. Ikhtiar bertahun-tahun juga melahirkan satu era di mana belanja publik semakin terarah pada kepentingan bersama: penyediaan aneka infrastruktur, anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan lain-lain. Berkat uang pajak kita,” papar Prastowo.
Baca: Sri Mulyani Beberkan Tantangan untuk Capai Target Inklusi Keuangan 90 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini