TEMPO.CO, PANGKALPINANG - Pemerintah mulai melakukan sejumlah kajian terkait dengan berbagai dampak rencana larangan ekspor timah pada 2023 mendatang.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan kajian dilakukan untuk melihat sejauh mana kesiapan daerah maupun negara jika larangan ekspor diberlakukan.
"Semangatnya itu kalau larangan ekspor diberlakukan, sesiap apa kita menyikapinya. Bagusnya memang saat larangan ekspor terjadi, pabrik hilir kita sudah siap," ujar Ridwan kepada wartawan, Ahad kemarin 2 Oktober 2022.
Ridwan menuturkan kajian pertama yang dilakukan adalah untuk pembangunan pabrik hilirasi dengan melibatkan Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) serta beberapa pihak yang diusulkan pemerintah.
"Dari sisi bisnis, saya minta dilengkapi kajian engineringnya juga. Kalau kita harus bangun pabrik, bagaimana bangunnya, siapa yang mau investasi, berapa lama membangunnya hingga progres bisnisnya. Itu harus tergambar," ujar dia.
Selain itu, kata Ridwan, potensi munculnya gugatan ke organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) perlu dipertimbangkan oleh tim kajian.
"Salah satu pertimbangan soal laporan ke WTO. Tapi kalau kata presiden lanjut jangan takut, saya setuju. Orang itu menuntut kita pasti karena ada sebuah kepentingan. Bukan hanya iseng-iseng saja. Artinya mereka kekurangan pasokan barang baku yang akibatnya tidak bisa jualan. Tapi ini namanya kompetisi," ujar dia.
Menurut Penjabat Gubernur Bangka Belitung itu, dari sisi ekonomi persoalan penyediaan lapangan pekerjaan menjadi target hilirisasi. Dia berkeyakinan hilirisasi akan membuka lapangan pekerjaan baru yang bisa membantu perekonomian masyarakat.
"Sekarang kita baru punya pabrik timah batangan. Nanti jika ada pabrik solder, pelat atau produk lain dari timah itu akan membuka lapangan pekerjaan," ujar dia.
Ridwan menambahkan pihaknya mendorong pengusaha smelter yang terkendala membangun industri hilir untuk dapat membentuk konsorsium agar tetap bisa eksis. Untuk calon investor pun, kata dia, pemerintah mempertimbangkan untuk memberi sejumlah kemudahan.
"Sepanjang sepengetahuan saya, investor sering kesulitan soal kepastian hukum dan lahan. Kepastian hukum kita bisa bantu kalau dari sisi pemerintah daerah. Tetapi kan ada faktor eksternal. Menurut hemat saya lebih baik lahan saja disiapkan gratis dan tidak ada yang melarang. Kalau dilarang gratis, bisa berbentuk penyertaan saham," ujar dia.
SERVIO MARANDA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini