TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan penyebab munculnya ancaman resesi global 2023. Menurut dia, hal itu karena ada tiga jalur transmisi yang terjadi.
Pertama, kata Bhima, jalur dari pengetatan moneter, di mana negara-negara maju meningkatkan suku bunga secara agresif. “Itu bisa memicu arus modal keluar dari negara-negara berkembang,” ujar dia melalui sambungan telepon Sabtu malam, 1 Oktober 2022.
Selain itu jalur tersebut juga bisa menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Indikatornya dolar index mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sekarang angkanya di antara 112-113, itu 17 persen sejak awal tahun dolar index naik.
Jalur transmisi kedua melalui perdagangan. Berdasarkan baltic dry index, telah terjadi penurunan jumlah kontainer. Itu menunjukkan volume perdagangan sudah mulai turun atau anjlok.
Adapun pengaruh transmisi perdagangan adalah kepada permintaan komoditas, yang selama ini Indonesia bisa berbangga pertumbuhan ekonominya masih terjadi karena di-support komoditas tambang dan perkebunan. “Tapi kalau sudah mulai ada tekanan dari sisi permintaan negara maju, terus menurun gitu, maka harga komoditasnya juga turun,” katanya.
Bhima mencontohkan CPO yang harganya sudah kembali ke posisi Juni 2021, dan minyak mentahnya juga sudah terkoreksi. Itu bisa mempengaruhi surplus perdagangan di banyak negara juga devisa dari hasil ekspor.
Kemudian yang ketiga jalur transmisi yang paling berisiko itu adalah soal krisis pangan. Bhima menilai hal itu transmisinya tercepat kedua setelah sektor moneter atau sektor keuangan. Karena, dia berujar, pangan ini ada 30 negara lebih yang melakukan pembatasan ekspor pangan, sehingga proteksi pangan dilakukan di banyak negara.
Sementara, Bhima melanjutkan, ada masalah lain yaitu sebentar lagi masuk musim dingin, serta gandum juga masih terganggu oleh perang di Ukraina. “Ini khawatirnya akan memicu lonjakan harga pangan di banyak negara,” ucap Bhima. “Tiga transisi itulah ya (penyebabnya).”
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan negara tengah mewaspadai kenaikan suku bunga yang berpotensi menimbulkan gejolak pasar keuangan. Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral negara-negara di dunia berpotensi menimbulkan resesi global.
"Tekanan inflasi global sudah direspons berbagai negara dengan kenaikan suku bunga yang drastis dan cepat," ujar Sri Mulyani dalam paparannya saat konferensi pers APBN Kita secara daring pada Senin, 26 September 2022.
Sri Mulyani pun mencontohkan sejumlah negara yang secara agresif mengerek suku bunga untuk menahan gejolak inflasi. Inggris, misalnya, telah menaikkan suku bunga secara drastis sebanyak 150 basis poin.
Kemudian Amerika Serikat tercatat mengerek suku bunga yang lebih ekstrem mencapai 225 basis poin sejak awal 2022. Dalam empat dekade terakhir, kata Sri Mulyani, setiap kebijakan kenaikan suku bunga Amerika akan mengakibatkan krisis di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika Latin.
"Jadi kita harus mewaspadai spill over yang akan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan."
Selain Amerika, Bank Sentral Eropa telah melakukan normalisasi tingkat bunganya. Sejak awal 2022, Eropa mengerek suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin. Padaal pada 2020, suku bunga Eropa tercatat berada di level negatif.
Tak hanya di negara maju, kenaikan suku bunga secara agresif dilakukan oleh bank sentral negara emerging market. Brasil, misalnya, telah mengerek suku bunga sebanyak 400 basis poin. Mexico juga meningkatkan suku bunga 225 basis poin dan India 140 basis poin.
Kenaikan suku bunga ini, bendahara negara itu melanjutkan, guna merespons tekanan yang kuat dari inflasi akibat melonjaknya harga komoditas serta pemberian stimulus selama 2020-2021 untuk menahan dampak dari krisis pandemi Covid-19. "Risiko ekonomi bergeser dari pandemi sekarang menajadi risiko finansial melalui berbagai penyesuaian kebijakan dan inflasi yang tinggi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani melanjutkan, kondisi ini akan menimbulkan dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia, ucap dia, memperkirakan jika bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, resesi global akan terjadi pada 2023.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini