TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat tekanan ekonomi global yang terus berlanjut di tengah ancaman resesi 2023 berpotensi membuat Indonesia terjebak sebagai negara berpendapatan menengah. Jebakan itu makin dalam jika pemerintah tidak ada upaya ekstra memperkuat ekonomi domestik.
"Indonesia terancam masuk jebakan kelas menengah," kata Bhima saat dihubungi, Jumat, 30 September 2022.
Meski dunia telah pulih dari pandemi Covid-19, perekonomian Indonesia masih menghadapi dampak tekanan ekonomi global. Pada 2023, ekonomi domestik dihadapkan dengan potensi resesi dunia setelah tingginya inflasi dan tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara-negara maju.
Kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tak kunjung menyentuh angka 6 persen. Padahal, berdasarkan perhitungan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata harus 6-7 persen untuk mencapai target Indonesia sebagai negara maju pada 2045 dan terlepas dari middle income trap.
Bhima pun memandang target Indonesia maju pada 2045 sulit tercapai. Beberapa faktor mempengaruhinya, seperti status Indonesia yang telah turun menjadi lower middle income country akibat dampak Pandemi Covid-19. Padahal sebelumnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara upper middle income country.
Adapun pada 2021 lalu, Bank Dunia atau World Bank kembali menempatkan Indonesia ke dalam golongan lower middle income country atau negara dengan penghasilan menengah ke bawah. Posisi ini membuat Indonesia turun kelas.
Oleh sebab itu, supaya Indonesia bisa kembali ke posisinya semula dan bertahan, Bhima mengatakan pemerintah perlu berfokus menjaga pendapatan per kapita masyarakat. Dengan demikian, target menuju Indonesia sebagai negara maju pada 2045 dapat tekejar.
"Sekarang jangka pendek kejar dulu status upper middle income country atau GNI (gross national income) per kapita US$ 4.046-12.535," ujar Bhima.
Motor pertumbuhan ekonomi Indonesia, kata dia, sebenarnya masih tergantung pada naik-turunnya harga komoditas. Ini membuat ekonomi sangat berisiko. Ketika harga komoditas mulai mengalami moderasi pada 2023, surplus perdagangan hingga lapangan kerja yang meningkat karena serapan disektor pertambangan dan perkebunan, bisa kembali menurun.
"Perlu diversifikasi ke sektor industri manufaktur yang punya nilai tambah tinggi," kata Bhima.
Di sisi lain, sumber daya manusia (SDM) juga juga dipandang sebagai kunci mengejar ketertinggalan itu. Namun persoalan ini, kata Bhima, tidak bisa hanya dilakukan dalam jangka pendek, perlu perencanaan pendidikan, korelasi materi pengajaran dengan skill yang tengah dibutuhka.
"Contohnya, skill digital dan transisi energi ke EBT yang butuh banyak SDM berkualitas," kata dia.
Kualitas pertumbuhan ekonomi pun, ia melanjutkan, juga perlu menjadi fokus utama selain tinggi nya GNI per kapita. Musababnya, masih terdapat 24 persen bayi dengan prevalansi menderita stunting atau gagal tumbuh. Selain itu, terdapat 115 juta penduduk kelas menengah rentan atau aspiring middle class.
Bahkan, dia melanjutkan, Bank Dunia mengategorikan 13 juta orang miskin baru di Indonesia akibat perubahan garis kemiskinan versi Bank Dunia beberapa hari lalu. Kalau ketimpangan makin dalam, motor pertumbuhan jangka panjang juga terganggu.
"Kita mau kejar bonus demografi 2030, tapi bayi masih stunting yang artinya sudah kalah bersaing dalam 1.000 hari pertama kehidupan dengan negara lain yang gizi bayinya bagus. Itu kontradiksi," ujar Bhima.
Sebelum masa Pandemi Covid-19, yaitu pada 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di posisi 5,02 persen secara tahunan. Lalu, pada 2020, pertumbuhan ekonomi menjadi minus 2,07 persen akibat pagebluk. Selanjutnya pada 2021, ekonomi Indonesia mampu kembali tumbuh 3,69 persen. Pada 2022, pemerintah menargetkan pertumbuhannya di level 5,2 persen dan 2023 sebesar 5,3 persen.
Baca juga: Sindiran Jokowi untuk Pejabat: Krisis Malah ke Luar Negeri, Dipamerin di Instagram
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.