TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIO), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut dampak ancaman resesi tidak boleh dianggap enteng. Dia mengatakan pemerintah tidak boleh lengah mengatasi risiko yang muncul dari dampak resesi global.
“Sekarang masalahnya pemerintah overconfident. APBN surplus sampai Agustus, surplus di atas Rp 100 triliun,” ujar Bhima ketika dihubungi Tempo, Kamis, 29 September 2022. Padahal, hal tersebut semata-mata karena Indonesia mendapat bonzana atau melimpahnya komoditas.
Dia menuturkan hingga saat ini aktivitas sektor riil belum menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan. Dengan adanya ancaman resesi global, Bhima melanjutkan, surplus perdagangan bisa berubah dan berbalik arah menjadi defisit perdagangan. Sebab, ancaman resesi membuat rupiah melemah terhadap dolar. Akibatnya, terjadi risiko imported inflation.
“Barang-barang yang diimpor, kalau kita list ada banyak banget. Bisa lebih dari 10 komoditas yang ketergantungan impornya sangat besar,” kata Bhima. Dia mencontohkan komoditas gandum, gula, garam, juga daging.
“Kalau rupiah melemah maka biaya impor akan menciptakan inflasi tambahan,” ucapnya.
Lebih lanjut, kata Bhima, inflasi tambahan akan berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga yang sudah memasuki tahap pemulihan—tetapi terganjal kenaikan harga BBM. Ke depan, risiko dari harga pangan dan imported inflation ini bisa terjadi pada barang elektronik, otomotif, hingga pakaian jadi.
“Dapat dikatakan hampir semua sektor akan terpengaruh. Pariwisata, masyarakat akan mengurangi biaya rekreasi. Fokus dulu untuk pemenuhan bahan kebutuhan pokok,” kata Bhima.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini