TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo alias Jokowi meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk berhati-hati dalam mengelola anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Di tengah ketidakpastian dan tekanan global, APBN masih menjadi shock absorber yang menopang gejolak tersebut.
"Saya selalu sampaikan kepada Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani), Bu, kalau punya uang di APBN kita, dieman-eman. Itu Bahasa Inggris dieman-eman, dijaga, hati-hati," kata Joko Widodo di Jakarta, Kamis, 29 September 2022, seperti dikutip Antara.
Jokowi berpesan agar bendahara negara mengatur belanja untuk kepentingan-kepentingan yang produktif. Selain itu, setiap pengeluaran perlu disertai dengan return atau imbal keuntungan yang jelas.
"Karena kita tahu, sekali lagi, hampir semua negara tumbuh melemah, terkontraksi ekonominya," katanya.
Jokowi mengakui bahwa setiap hari, ia mendengar banyak berita yang memuat negara-negara di pelbagai belahan dunia mengalami krisis baik energi maupun finansial. Semua negara, kata dia, berada pada posisi sulit untuk memprediksi dan mengkalkulasikan laju ekonomi ke depan.
"Arahnya seperti apa? Pemulihan seperti apa? Satu masalah muncul belum selesai, muncul masalah yang lain; dan efek domino ini semua menyampaikan sulit dihitung," ucapnya.
Jokowi pun menyoroti krisis ekonomi yang membuat nilai tukar bergejolak, tak terkecuali rupiah. "Nilai tukar melompat-lompat. Baru sehari, dua hari, karena APBN di UK (United Kingdom), lalu berimbas pada semua negara," katanya.
Meski demikian, Jokowi melihat depresiasi nilai tukar rupiah masih lebih baik ketimbang negara lain. "Meski melemah minus 7; tapi dibandingkan dengan negara-negara lain, Jepang sampai minus 25, RRT (Cina) minus 13, Filipina minus 15. Ini yang harus kita syukuri, tapi perlu kerja keras jangka panjang," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui efek luka yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam. Imbas pagebluk itu melampaui krisis keuangan 1997-1998 dan 2008-2009.
"Pandemi mulai dan sudah bisa dikelola meskipun belum sama sekali selesai. Pandemi meninggalkan scarring effect yang sangat dalam," kata Sri dalam kesempatan yang sama.
Sri menjelaskan, masalah utama pandemi Covid-19 adalah terancamnya jiwa manusia. Penyakit yang disebabkan oleh virus baru ini pada awal penyebarannya belum ada temuan obat maupun vaksinnya. Salah satu cara untuk memutus penyebarannya, pemerintah membatasi kegiatan masyarakat. Namun, pembatasan ini mengakibatkan kegiatan ekonomi hampir lumpuh.
"Policy pembatasan dan pembatasan itu memukul sangat dalam terutama pelaku kecil. Indonesia yang mayoritas juga didominasi perusahaan-perusahaan dan kegaitan sektor informal pasti sangat terpukul sangat dalam," ujar Sri Mulyani.
ANTARA | ARRIJAL RACHMAN
Baca: Rupiah Jeblok ke 15.266 per Dolar AS, BI: Inflasi di Emerging Market Tak Sebesar Negara Maju
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.