Dampak rembetan resesi ini, menurut Ajib, akan semakin memberatkan ekonomi setelah pemerintah menerapkan kebijakan kebijakan fiskal yang ketat, seperti kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen dan kenaikan harga BBM.
"Serta kebijakan moneter meningkatnya suku bunga acuan, akan membuat tekanan terhadap daya beli, dan selanjutnya akan berimbas pada sektor manufaktur," ujar Ajib.
Dampak-dampak ini, kata Ajib, akan tertahan sedikit oleh upaya pemerintah yang sudah memitigasi efek jangka pendek menurunnya daya beli masyarakat ini dengan paket program Bantuan Langsung Tunai (BLT) selama empat bulan ke depan, sejak kebijakan kenaikan harga BBM. Serta bisa memberikan ruang bagi pengusaha untuk mencari strategi menghadapi tekanan ekonomi.
"Kebijakan pengetatan ekspor Crude Palm Oil (CPO), moratorium ekspor batubara, dan wacana ekspor nikel mentah pada tahun 2023 nanti, juga menjadi bagian dari program cerdas pemerintah untuk mendapat keuntungan ekonomi jangka panjang," ujar Ajib.
Sebagai informasi, kinerja ekspor Indonesia sebetulnya masih moncer hingga Juli 2022. Tercermin dari surplus neraca perdagangan Indonesia yang sebesar US$ 4,23 miliar pada Juli 2022. Tapi surplus ekspor impor mulai merosot dari catata Juni 2022 sebesar US $5,15 miliar.
Kinerja surplus neraca perdagangan Indonesia ini terjaga sejak Mei 2020. Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Juli 2022 secara keseluruhan mencatat surplus US$ 29,17 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama pada 2021 sebesar US$ 15,95 miliar.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini