Selain faktor eksternal dari Amerika Serikat, menurut Ibrahim, perlambatan perekonomian Cina tahun ini juga ikut mempengaruhi sentimen terhadap pasar di Asia. Pasalnya, status Cina sebagai pusat perdagangan utama di kawasan Asia.
"Tetapi pertumbuhan di negara itu dapat membaik di sisa tahun ini dengan pencabutan pembatasan Covid dan langkah-langkah stimulus baru dari pemerintah," kata Ibrahim dalam risetnya.
Adapun proyeksi akan terjadinya resesi pada tahun 2023, menurut dia, turut mendorong ekspektasi inflasi di sejumlah negara. Hal ini pula yang memicu negara-negara maju mengerek suku bunga acuan dan memperketat likuiditasnya.
Resesi diprediksi terjadi lantaran tingginya harga pangan dan energi di beberapa negara baik Eropa maupun AS. "Kebijakan tersebut akan memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi dunia, sehingga negara berkembang pun akan merasakan efek dari kenaikan suku bunga itu," kata Ibrahim.
Lebih jauh, Ibrahim menilai jika bank sentral seluruh dunia kompak menaikan suku bunga secara ekstrim, maka resesi sulit dihindari. Sebab, pertumbuhan negara-negara maju cukup cepat dan ekstrim sehingga turut memukul pertumbuhan negara berkembang.
BISNIS
Baca: Cerita Arcandra Tahar Soal Alur Pembentukan Harga BBM, Produksi Seperti Membuat Rendang
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.