Menurut Arcandra, produksi BBM juga tak berbeda dengan proses memasak rendang oleh sebuah restoran Padang. Bahan baku utama rendang adalah daging sapi atau kerbau yang harganya ditentukan oleh supply demand pada waktu tertentu.
"Pada saat hari raya Idul Adha, kebutuhan sapi akan meningkat sehingga harganya akan naik," tulis Arcandra. Tapi ongkos untuk membuat rendang, menurut dia, belum tentu akan naik pada saat itu.
Nah, perbedaan antara harga jual rendang dengan harga daging sapi dinamakan dengan dapur margin (seperti refinery margin). Dapur margin ini bisa jadi ditentukan oleh banyaknya permintaan rendang pada saat tertentu. "Misalnya acara wisuda yang memerlukan 10 ton rendang. Daging sapi tersedia, tapi rendangnya tidak cukup. Maka dapur margin untuk membuat rendang menjadi naik untuk memenuhi kebutuhan wisuda," ucap Arcandra.
Dalam 5 tahun terakhir, dapur margin untuk membuat rendang misalnya hanya Rp 100 ribu per kilogram dan kini naik menjadi Rp 300 ribu per kilogram. Ditambah lagi kalau pada saat yang bersamaan harga daging sapi juga ikut naik. Konsumen yang membutuhkan rendang tentunya akan semakin terbebani.
Begitu juga kondisinya ketika ada acara besar namun anggarannya terbatas dan harus menyediakan menu rendang setiap saat, maka membeli rendang yang siap santap mungkin akan mahal. "Agar fluktuasi harga rendang lebih terjamin, salah satu solusi yang tepat adalah membuat dapur sendiri yang tidak saja bisa membuat rendang, tapi juga bisa membuat masakan Padang yang lain.
Oleh karena itu, menurut Arcandra, dibutuhkan investasi dan kesabaran yang lebih agar bisa membuat dapur yang memberikan margin yang baik. Dalam konteks pemenuhan BBM, dengan refinery margin yang sangat tinggi pada tahun ini dan bisa jadi tahun-tahun yang akan datang, strategi yang teliti, cermat dan cerdas sangat dibutuhkan dalam masa transisi menuju net-zero emisi tahun 2050 atau 2060.
Membuat restoran Padang sendiri yang memungkinan produksi rendang, menurut dia, menjadi lebih efisien perlu untuk dipikirkan, direncanakan dan segera diwujudkan."Realitasnya dunia masih memerlukan energi fosil paling tidak hingga 30 tahun lagi. Namun demikian pengembangan energi terbarukan juga jangan sampai terabaikan," ucap Arcandra Tahar.
DEFARA DHANYA PARAMITHA
Baca: Jokowi Kesal Kekayaan Aspal di Buton Melimpah, tapi Malah Impor 5 Juta Ton per Tahun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.