TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani meminta pemerintah menjaga stabilisasi ekonomi untuk mengahadapi ancaman resesi global 2023. Tujuannya agar Indonesia tetap memiliki fundamental ekonomi yang kuat untuk mengambil celah menarik arus investasi dari negara-negara yang mengalami krisis.
“Ini penting karena di masa-masa krisis, investor akan mencari tempat-tempat investasi yang lebih stabil dan lebih predictable iklim usaha potensi pertumbuhannya dibandingkan negara asal mereka yang sedang mengalami krisis,” ucap dia kepada Tempo pada Selasa, 27 September 2022.
Ia juga mendorong agar pemerintah menciptakan kebijakan fiskal dan makro prudential yang responsif. Khususnya, untuk menanggulangi tekanan-tekanan eksternal dari krisis ekonomi yang kemungkinan akan dialami oleh sebagian besar negara mitra dagang dan investor.
Selain itu, ia menganggap pemerintah perlu mengerakkan reformasi struktural untuk menciptakan efisiensi-efisiensi iklim usaha yang dibutuhkan. Shinta menuturkan jika melihat kondisi saat ini, kondisi yang perlu dikhawatirkan dari ancaman resesi global 2023 bukan hanya dampak terhadap impor, tapi juga produktivitas seluruh ekonomi nasional tahun depan.
Sebab, resesi global itu akan dialami oleh sebagian besar ekonomi dunia mulai Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga Cina-Jepang. Semua negara itu adalah rekan dagang dan investor besar bagi Indonesia.
Meskipun risiko Indonesia untuk mengalami krisis yang sama cukup rendah, kata Shinta, ekonomi dalam negeri tetap bakal terkena dampak negatif. “Di satu sisi, efek inflasi yang di atas rata-rata pada tahun ini akan menciptakan tekanan terhadap beban biaya usaha dan tekanan terhadap daya beli masyarakat di 2023,” kata dia.
Tekanan-terkanan tersebut, Shinta melanjutkan, akan dirasakan di semua sektor ekonomi. Sehingga, pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya di sektor industri dan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, akan melambat.
“Di sisi lain, krisis yang diproyeksikan terjadi di 2023 juga akan menekan produktifitas ekspor, khususnya produk manufaktur dan produk bernilai tambah yang sifatnya ‘consumer goods’ yang biasa kita ekspor ke negara-negara yang diproyeksikan mengalami krisis,” ucap Shinta.
Dia menilai hal itu akan semakin menjadi beban tambahan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. “Ini pun dengan asumsi kita bisa menjaga stabilitas makro ekonomi nasional sepanjang krisis global di 2023,” tutur Shinta.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad membeberkan langkah negara yang harus diambil untuk menghadapi ancaman resesi global 2023. Salah satunya kebijakan mengenai subsidi bahan bakar minyak atau BBM.
Tauhid melihat negara masih harus menggelontorkan anggaran subsidi BBM dengan jumlah besar sebagai bantalan ekonomi. Kebijakan fiskal itu untuk menahan dampak dari melambungnya harga-harga komoditas.
“Yang banyak orang melihat itu selalu ke harga BBM, itu tebusannya adalah subsidi yang dikendalikan. Subdisi masih akan besar,” ujar dia melalui sambungan telepon pada Selasa, 27 September 2022.
Negara, Tauhid melanjutkan, masih perlu mewaspadai fluktuasi harga minyak dunia pada tahun depan dan gejolak nilai tukar. Sebab, kata dia, pembentuk harga BBM selain harga acuan Indonesian Crude Price (ICP) adalah posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Namun di sisi lain, Tauhid menyoroti besaran subsidi yang dianggarkan pemerintah pada 2023 dan kerentanannya terhadap defisit APBN. Pada tahun depan, pemerintah harus menekan besaran subsidi lantaran mesti mengembalikan defisit APBN ke level 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Ditambah lagi, pemerintah sudah harus menerima carry over sekitar Rp 190 triliun untuk subsidi tahun ini. Jika tahun depan terjadi gejolak baru, anggaran subsidi BBM pun akan di-carry over pada 2024.
"Jadi hitungan saya maksimal sekitar Rp 200 triliun tambahannya (subsidi BBM) kalau ada gejolak untuk subsidi. Karena kalau dia mau nambah ke tahun 2023 ya jebol di atas 3 persen, itu perlu diskusi lagi dan UU diubah,” tutur Tauhid.
Seiring dengan langkah fiskal, Tauhid mengatakan negara juga perlu memperkuat kebijakan moneternya. Bank Indonesia, misalnya, masih perlu menaikkan suku bunga jika rupiah terus melemah.
“Kalau (nilai tukar rupiah terhadap) dolar tembus Rp 15 ribu, berarti apa yang dilakukan Bank Indonesia selama ini enggak begitu cukup kuat,” tutur dia. Menurut Tauhid, meski depresiasi rupiah lebih rendah ketimbang negara lain, pengaruh pelemahan nilai tukar terhadap perekonomian akan dirasakan masyarakat.
Baca: Jokowi Kesal Kekayaan Aspal di Buton Melimpah, tapi Malah Impor 5 Juta Ton per Tahun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.