TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad membeberkan langkah negara yang harus diambil untuk menghadapi ancaman resesi global 2023. Salah satunya kebijakan mengenai subsidi bahan bakar minyak atau BBM.
Tauhid melihat negara masih harus menggelontorkan anggaran subsidi BBM dengan jumlah besar sebagai bantalan ekonomi. Kebijakan fiskal itu untuk menahan dampak dari melambungnya harga-harga komoditas.
“Yang banyak orang melihat itu selalu ke harga BBM, itu tebusannya adalah subsidi yang dikendalikan. Subdisi masih akan besar,” ujar dia melalui sambungan telepon pada Selasa, 27 September 2022.
Negara, Tauhid melanjutkan, masih perlu mewaspadai fluktuasi harga minyak dunia pada tahun depan dan gejolak nilai tukar. Sebab, kata dia, pembentuk harga BBM selain harga acuan Indonesian Crude Price (ICP) adalah posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Namun di sisi lain, Tauhid menyoroti besaran subsidi BBM yang dianggarkan pemerintah pada 2023 dan kerentanannya terhadap defisit APBN. Pada tahun depan, pemerintah harus menekan besaran subsidi lantaran mesti mengembalikan defisit APBN ke level 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Ditambah lagi, pemerintah sudah harus menerima carry over sekitar Rp 190 triliun untuk subsidi tahun ini. Jika tahun depan terjadi gejolak baru, anggaran subsidi BBM pun akan di-carry over pada 2024.
"Jadi hitungan saya maksimal sekitar Rp 200 triliun tambahannya (subsidi BBM) kalau ada gejolak untuk subsidi. Karena kalau dia mau nambah ke tahun 2023 ya jebol di atas 3 persen, itu perlu diskusi lagi dan UU diubah,” tutur Tauhid.
Seiring dengan langkah fiskal, Tauhid mengatakan negara juga perlu memperkuat kebijakan moneternya. Bank Indonesia, misalnya, masih perlu menaikkan suku bunga jika rupiah terus melemah.
“Kalau (nilai tukar rupiah terhadap) dolar tembus Rp 15 ribu, berarti apa yang dilakukan Bank Indonesia selama ini enggak begitu cukup kuat,” tutur dia. Menurut Tauhid, meski depresiasi rupiah lebih rendah ketimbang negara lain, pengaruh pelemahan nilai tukar terhadap perekonomian akan dirasakan masyarakat.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan negara tengah mewaspadai kenaikan suku bunga yang berpotensi menimbulkan gejolak pasar keuangan. Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral negara-negara di dunia berpotensi menimbulkan resesi global.
"Tekanan inflasi global sudah direspons berbagai negara dengan kenaikan suku bunga yang drastis dan cepat," ujar Sri Mulyani dalam paparannya saat konferensi pers APBN Kita secara daring pada Senin, 26 Agustus 2022.
Sri Mulyani pun mencontohkan sejumlah negara yang secara agresif mengerek suku bunga untuk menahan gejolak inflasi. Inggris, misalnya, telah menaikkan suku bunga secara drastis sebanyak 150 basis poin.
Kemudian Amerika Serikat tercatat mengerek suku bunga yang lebih ekstrem mencapai 225 basis poin sejak awal 2022. Dalam empat dekade terakhir, kata Sri Mulyani, setiap kebijakan kenaikan suku bunga Amerika akan mengakibatkan krisis di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika Latin.
"Jadi kita harus mewaspadai spill over yang akan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan."
Selain Amerika, Bank Sentral Eropa telah melakukan normalisasi tingkat bunganya. Sejak awal 2022, Eropa mengerek suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin. Padaal pada 2020, suku bunga Eropa tercatat berada di level negatif.
Tak hanya di negara maju, kenaikan suku bunga secara agresif dilakukan oleh bank sentral negara emerging market. Brasil, misalnya, telah mengerek suku bunga sebanyak 400 basis poin. Mexico juga meningkatkan suku bunga 225 basis poin dan India 140 basis poin.
Kenaikan suku bunga, bendahara negara itu melanjutkan, guna merespons tekanan yang kuat dari inflasi akibat melonjaknya harga komoditas serta pemberian stimulus selama 2020-2021 untuk menahan dampak dari krisis pandemi Covid-19. "Risiko ekonomi bergeser dari pandemi sekarang menajadi risiko finansial melalui berbagai penyesuaian kebijakan dan inflasi yang tinggi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani melanjutkan, kondisi tersebut akan menimbulkan dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia, ucap dia, memperkirakan jika bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, resesi global akan terjadi pada 2023.
Baca juga: Sri Mulyani Beri Sinyal Ancaman Resesi Global pada 2023 Akibat Kenaikan Suku Bunga
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.