TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengusaha memperkirakan tingkat inflasi di Indonesia tetap tinggi meski kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia agresif naik 50 basis poin, dari 3,75 persen menjadi 4,25 persen.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan, kenaikan inflasi Indonesia dipengaruhi kenaikan inflasi global. Penyebabnya, kata dia, terganggunya sisi penawaran atau cost push inflation, bukan karena tingginya permintaan atau demand pull inflation.
"Kalau kita melihat lebih detail, fenomena kenaikan yang sedang terjadi di Indonesia cenderung karena faktor cost push inflation," kata Ajib saat dihubungi, Jumat, 23 September 2022.
Ajib menjelaskan, ada tiga hal yang membuat kenaikan harga penawaran itu. Pertama kebijakan fiskal pemerintah menaikkan tarif PPN pada 1 April 2022 dari 10 persen menjadi 11 persen. Kedua kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pada 3 September 2022. Terakhir karena kondisi geopolitik yang mengganggu rantai pasokan global atau global supply chain.
Kenaikan suku bunga yang diambil BI itu akan tetap menyebabkan tingkat inflasi naik sambil membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terkoreksi atau menurun. Sebab, dia mengatakan, naiknya tingkat bunga acuan otomatis akan menurunkan konsumsi masyarakat.
"Potensi pertumbuhan ekonomi yang akan jadi terkoreksi dan inflasi yang tetap merangkak naik. Sampai akhir tahun, pertumbuhan ekonomi cenderung akan bergerak di angka 5 persen," kata Ajib.
Kondisi itu menurutnya akan berbahaya karena ketika inflasi terus naik hingga di atas pertumbuhan ekonomi, maka kesejahteraan masyarakat akan turun. Penurunan kesejahteraan masyarakat akan tercermin dari tingkat konsumsinya yang melemah.
BI sendiri telah memperkirakan tingkat inflasi sampai akhir 2022 akan sedikit di atas 6 persen secara tahunan sedangkan pertumbuhan ekonomi 2022 diperkirakan hanya bisa sampai 5,3 persen.
Padahal, pertumbuhan ekonomi Indonesia kata Ajib mayoritas ditopang oleh konsumsi. Data Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2021 yang sebesar Rp 16.970,8 triliun, lebih dari 54 persennya adalah kontribusi dari konsumsi masyarakat.
"Kebijakan BI menaikkan suku bunga ini akan memberikan konsekuensi ekonomi dengan berkurangnya likuiditas dan cenderung menurunkan kemampuan daya beli serta konsumsi masyarakat," ujar Ajib.
Ajib mengakui, langkah ini terpaksa dilakukan BI sebagai upaya untuk untuk mengimbangi langkah kebijakan bank sentral Amerika Serikat, yaitu Federal Reserve (The Fed) yang juga tengah agresif menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin.
Di sisi lain, laju inflasi juga terus merangkak naik. Kuartal II 2022, inflasi pada bulan Juli menunjukkan angka inflasi sebesar 4,94 persen year on year (yoy), jauh di atas asumsi makro awal penyusunan APBN 2022 yang ditarget hanya kisaran 3 persen secara agregat pada 2022.
Ajib mengatakan, pemerintah seharusnya fokus mengambil langkah pemberian insentif agar terjadi pengurangan biaya-biaya dan kemudahan produksi di tengah tren kenaikan suku bunga acuan. Dengan begitu, efek inflasinya tetap bisa terjaga sambil menjaga tren pemulihan ekonomi.
"Misalnya kebijakan relaksasi kredit untuk dunia usaha yang kembali diperpanjang karena narasi besar atas potensi inflasi. Dengan pola pembiayaan yang lebih terukur dan managable, dunia usaha akan mempunyai fleksibilitas," kata Ajib.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini