TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengungkapkan kini tarif ojek online atau tarif ojol sudah di atas tarif ojek pangkalan. Namun persoalannya, kata dia, semua pendapatan ojek pangkalan pendapat masuk ke pengemudi, sedangkan para pengemudi ojol harus membaginya dengan aplikator berupa biaya komisi.
"Selain komisinya yang besar, yakni sekitar 20 persen, ojol juga mengambil biaya penggunaan aplikasi ke konsumen. Jadi 20 persen yang didapat itu bersih," tuturnya.
Menurut Heru, masalahnya adalah semua aset, risiko, dan tenaga kerja ditanggung mitra pengemudi ojol. Sehingga dengan kenaikan harga BBM, ongkos produksi pun naik. Alhasil kenaikan tarif bagi mitra tidak otomatis meningkatkan pendapatan. Sementara bagi aplikator, kenaikan tarif langsung meningkatkan pendapatan.
Heru yang juga merupakan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional mengatakan konsumen padahal berharap ojol bisa menawarkan tarif yang lebih terjangkau.
Ia berujar sebaiknya Kementerian Perhubungan sebagai regulator menggelar public hearing, agar jangan sampai memutuskan kebijakan secara sepihak. "Libatkan aplikator, mitra pengemudi, perwakilan konsumen, termasuk kalangan akademisi. Agar ini jelas dan transparan," ucapnya.
Adapun menanggapi keengganan aplikator untuk mengurangi biaya komisinya, ia mengungkapkan regulator seharusnya terbuka soal formula perhitungan pada masyarakat.
"Dan harus jelas bagaimana pembagian antara ongkos produksi yang diharus dikeluarkan mitra pengemudi dan komisi yang didapat oleh aplikasi," tuturnya.
Selanjutnya: "Teman dianggap mitra, tapi mitra seperti apa?"