TEMPO.CO, Jakarta -Sejak tanggal 1 September lalu, pemerintah sudah mulai mencairkan bantuan langsung tunai (BLT BBM) bagi masyarakat kelompok penerima manfaat. Bantuan sosial atau bansos tersebut ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai antisipasi dampak dari kenaikan harga BBM.
Sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah telah memutuskan akan memberikan tambahan bantuan sosial sebesar Rp 24,17 triliun. Bantalan sosial tambahan itu akan diberikan dalam tiga bentuk yaitu BLT, bantuan untuk pekerja berpenghasilan Rp 3,5 juta per bulan, dan subsidi transportasi.
Selain itu, bantuan juga akan diberikan pada 16 juta pekerja yang punya gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan. Bantuan yang diberikan sebesar Rp 600 ribu dengan total anggaran Rp9,6 triliun.
Di samping manfaat yang dirasakan oleh berbagai pihak, ada pula banjir kritik yang diberikan oleh berbagai pengamat atau ekonom terhadap hadirnya BLT BBM ini. Berikut telah terangkum dari hasil laporan Tempo.
Nominalnya Terlalu Kecil
Kritik pertama datang dari seorang ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov yang menilai bahwa pemberian bansos BBM belum solutif. Pasalnya, nominal yang diberikan pemerintah sangat kecil.
“Bansos yang Rp150.000 itu kalau dirata-rata, sehari hanya dapat Rp5.000 untuk satu rumah tangga,” ujar Abra kepada Tempo, Minggu, 4 September 2022.
Perlunya Bantuan Dana Lain
Adapun menurut Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira yang mengatakan pemerintah seharusnya tidak hanya memberikan bantuan BLT atau Program Keluarga Harapan (PKH) saja terkait kenaikan harga ini. Misalnya dalam bantuan UMKM pun perlu diberikan dana kompensasi seperti bunga kredit usaha rakyat atau KUR dinaikkan dua kali lipat.
"Jika harga BBM bersubsidi naik, semua bisa kena dampaknya bahkan yang selama ini tidak menggunakan subsidi juga ikut kena inflasi," ujarnya saat dihubungi Tempo, pada Selasa, 30 Agustus 2022.
Pemberian yang Tidak Merata
Selain itu, Bhima juga menilai tambahan anggaran kompensasi kenaikan harga BBM subsidi terlalu kecil. Ia pun menyayangkan bahwa pemerintah hanya berfokus terhadap bantuan kelompok orang miskin atau 40 persen kelompok pengeluaran terbawah.
"Kelas menengah rentan yang jumlahnya 115 juta orang perlu dilindungi oleh dana kompensasi kenaikan harga BBM," ujarnya saat dihubungi, pada Selasa, 30 Agustus 2022.
Sementara Abra menilai bahwa masih banyak yang membutuhkan, salah satunya kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan. Contohnya bantuan yang hanya menyasar sektor pekerja dengan gaji Rp3,5 juta per bulan atau UMR. Mereka dengan gaji sedikit di atas UMR juga tidak mendapatkan bantuan.
“Misal UMR Rp 3,5 juta tapi gajinya Rp3,7 juta. Mereka mengalami inflasi tapi tidak mendapat bantuan,” katanya
Pendataan dan Kecepatan Pemberian BLT
Permasalahan selanjutnya yang menurut Bhima menjadi permasalahan adalah persoalan kecepatan pencairan dana tersebut. Kalau harga BBM naik, tapi bansos baru dihitung, belum 100 persen cair, maka efeknya sudah bisa menurunkan konsumsi rumah tangga. Menurutnya jika kenaikan harga BBM terjadi pada awal September, setidaknya tanggal yang ideal untuk bansos cair seluruhnya ketika Agustus akhir.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan bahwa penyaluran BLT BBM sebesar Rp600 ribu secara berkala ini perlu dimaklumi. Hal ini disebabkan karena terdapat jumlah masyarakat yang menerima bantuan.
"Ya kan yang kita bagikan ini 20.600.000. Jumlah seperti itu ga mungkin lah kita 100 persen benar, ya pasti ada yang 1,2,3 yang tidak tepat, karena memang yang dibagikan itu jumlahnya cukup banyak sekali," ujar Jokowi dalam keterangannya yang disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu, 3 September 2022.
Hanya Sebagai Obat Bius
Kritik juga datang dari Dewan Pengurus Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (DPP IKAPPI) Ahmad Choirul Furqon yang khawatir akan terjadi inflasi mencapai 6-8 persen. Menurutnya dengan hal itu akan membuat para pedagang terdampak juga.
Dengan demikian, IKAPPI meminta agar pemerintah lebih mempertimbangkan kebijakan secara lebih logis dan matang, serta cerdas dan substantif. Selain itu, IKAPPI berharap pemerintah tidak hanya menggunakan populis.
“Kebijakan BLT dalam praktiknya hanya seperti menjadi obat bius sementara bagi masyarakat. Setelah BLT selesai lantas apa solusi untuk masyarakat?” ucapnya.
Tidak Berpengaruh Pada Elektabilitas Parpol
Melansir Antaranews, Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute atau IPI Karyono Wibowo bahwa ke kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, sampai memberikan BLT tidak akan mempengaruhi elektabilitas partai politiknya. Menurutnya, kebijakan ini bukanlah sebagai permainan suatu partai politik atau parpol.
Bukan Satu-satunya Variabel Suara
Lalu, ia pun memberi contoh ketika kenaikan harga BBM di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat itu memang ada juga bantuan BLT BBM, namun hal tersebut tidak berpengaruh signifikan bagi elektabilitas dan perolehan suara Partai Demokrat
FATHUR RACHMAN
Baca juga : Ribuan Warga di Jayapura Terima BLT BBM
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.