TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira merespons pernyataan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) soal pembangunan infrastruktur. AHY mengklaim 70 hingga 90 persen pembangunan di era Presiden Joko Widodo adalah kinerja ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono.
"Sebenernya tidak relevan saling klaim terhadap infrastruktur, apakah dibangun di eranya SBY, dari eranya Pak Jokowi," ujar Bhima kepada Tempo, Jumat, 16 September 2022.
Menurutnya, infrastruktur dibangun di era pemerintahan siapapun mengalami banyak masalah. Misalnya nafsu membangun infrastruktur dengan anggaran Rp 400 triliun per tahunnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ditambah lagi penugasan-penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kredit sindikasi dari perbankan yang dialirkan kepada infrastruktur.
Menurutnya, problem dalam infrastruktur adalah efektivitas dari proyeknya yang ternyata tidak sesuai dengan harapan. Buktinya, tutur Bhima, adalah biaya logistik masih cukup tinggi berkisar 23,5 persen dari PDB. Ia berujar tidak ada penurunan biaya logistik secara signifikan.
"Padahal tujuan awal infrastruktur itu meningkatkan konektivitas dan menurunkan biaya logistik, karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan biaya logistik yang paling mahal di kawasan," ucapnya.
Persoalan kedua dari daya saing dan efisiensi investasi. Dengan pembangunan infrastruktur yang cukup masif, incremental capital output ratio Indonesia berada di tingkat delapan. Artinya berinvestasi di Indonesia semakin boros.
Poin masalah lainnya adalah penugasan-penugasan yang dilakukan kepada BUMN karya membuat likuiditas BUMN terganggu. Bahkan, kata dia, ada BUMN karya yang rasio utangnya sudah 6 kali, padahal batas yang wajar maksimum 3,5 kali.
"Jadi BUMN karya dalam kondisi yang cukup berdarah untuk dikorbankan dalam pembangunan infrastruktur," kata Bhima.
Pembangunan infrastruktur menurutnya cukup menyedot likuiditas dari perbankan. Padahal bisa untuk pembiayaan produktif lainnya yang memang tepat sasaran dan langsung berkaitan dengan daya saing misalnya pelaku usaha domestik.
Selain itu, infrastruktur adalah memiliki ketergantungan yang besar terhadap impor besi, baja, dan mesin, sehingga menjadi beban juga terhadap neraca perdagangan. Walaupun saat ini, Indonesia menurut dia beruntung karena defisitnya bisa ditutup dengan harga komoditas.
"Tapi ketika booming harga komoditasnya turun, maka banyak infrastruktur yang menjadi beban bagi defisit impor. Yang terakhir adalah utilitas," ujarnya.
Selain itu, menurutnya pemanfaatan infrastruktur banyak yang tidak tepat sasaran. Seperti, beberapa bandara sepi tapi tetap dipaksakan dibangun. Jembatan pun okupansinya tidak sesuai harapan dan utilitasnya relatif rendah.
"Jadi tidak relevan mau AHY bilang adalah jamannya bapaknya atau program Jokowi," kata Bhima. Hal yang relevan menurutnya adalah bagaimana menemukan solusi dari permasalahan infrastruktur ini, karena akan menjadi beban bagi siapapun yang menjadi presiden ke depannya.
RIANI SANUSI PUTRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini