TEMPO.CO, Jakarta -Beberapa aktivis lingkungan menanggapi Bank asal Singapura, DBS, yang menyatakan menghentikan pinjaman PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Kebijakan itu dilakukan di tengah melejitnya laba dari perusahaan batu bara di sepanjang semester pertama 2022.
Pada tahun 2021, batu bara menyumbangkan 96 persen dari pendapatan Adaro, tanpa ada rencana untuk mengurangi ketergantungan dari batu bara. Sedangkan, DBS berkomitmen untuk mengurangi eksposur batu-bara sampai dengan nol di tahun 2039. Saat ini, batu-bara merupakan industri yang akan hilang di masa depan, hal ini-lah yang mendorong pendana meninggalkan batu-bara.
Peneliti di Trend Asia Andri Prasetiyo menjelaskan keputusan institusi keuangan global semacam ini menunjukkan bahwa masa depan cerah bagi industri batu bara hampir sulit terjadi. Padahal Adaro menjadi salah satu perusahaan batu bara terbesar yang mendapatkan laba jumbo dari masa windfall batubara.
“Namun, tetap saja hal ini tidak mampu mengurungkan niat lembaga finansial untuk segera menarik diri dan pergi,” ujar dia dalam keterangan tertulis hari ini.
Menurut Andri, hal ini seharusnya juga menjadi pelajaran penting bagi industri batu bara, bahwa di tengah penguatan komitmen transisi energi ke depan, ada indikasi momentum windfall yang indah sebagaimana sedang terjadi saat ini tidak otomatis akan terus bertahan menjadi laba di masa depan. “Perusahaan harus semakin serius dan segera mempercepat rencana transisinya,” kata Andri.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan International Energy Agency memproyeksikan bagaimana cara untuk mencapai net-zero di tahun 2060. Salah satunya dengan diberhentikannya (phase out) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan teknologi lama di tahun 2050-an.
Terlebih lagi, Indonesia mengekspor 85 persen batu bara-nya ke negara yang memiliki target net-zero, hal ini menimbulkan keraguan atas prospek permintaan batu-bara jangka panjang.
Indonesia Campaigner di Market Forces Nabilla Gunawan mengatakan permintaan batu bara yang menurun secara drastis mengindikasikan bahwa pembiayaannya memiliki risiko kerugian finansial yang semakin meningkat. “Risiko keuangan dari investasi batu bara terlihat jelas dari keputusan lembaga keuangan global maupun regional phase out dari batu bara,” tutur dia.
Menurut Nabila, risiko transisi timbul karena perubahan kebijakan dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara sebagai upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Bank domestik, dia berujar, harus segera mengambil langkah untuk menghindari potensi kerugian yang besar yang ditimbulkan dari investasi batu-bara.
“Mereka harus memiliki kebijakan untuk menghentikan pendanaan ke sektor batu bara,” ucap Nabilla.
Sejak 2015, dia menjelaskan, total pinjaman langsung yang diberikan keempat bank yakni Mandiri, BCA, BNI, dan BRI untuk perusahaan batu bara dalam negeri mencapai US$ 3,5 miliar. Dan keputusan DBS, serta bank-bank besar lainnya untuk meninggalkan Adaro merupakan sinyal kuat agar seluruh pelaku bisnis batu bara transisi keluar dari batu bara sekarang.
“Seluruh bank di Indonesia dan Asia yang serius tentang komitmen krisis iklim harus berhenti mendanai batu-bara sekarang,” ujar Nabilla.
Baca Juga: Citigroup Sebut Proses Divestasi Bisnis Consumer Banking di RI Masih Berjalan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.