Oleh sebab itu, Sri Mulyani menyatakan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk terus melonggarkan defisit APBN mulai tahun depan. Sebab, jika defisit tidak terus diturunkan dan dijaga pada tingkat yang rendah, maka pelaku pasar melihat Indonesia sebagai negara yang kekurangan pembiayaan.
"Sehingga kita kemudian terlihat di market harus melakukan financing apalagi financing-nya sampai desperate, maka kita pasti akan terkena hit dengan cost of fund-nya yang sangat tinggi, pasti akan juga dilihat dari sisi rating dimana nantinya Indonesia dianggap vulnerable," kata dia.
Oleh sebab itu, banyak negara saat ini mulai mengalami potensi gagal bayar utang-utangnya, akibat tingginya bunga yang harus dibayarkan. Presiden Joko Widodo atau Jokowi pun sudah mengatakan sebelumnya ada 107 negara yang masuk dalam kondisi krisis dan sebagiannya bakal bangkrut.
"Mereka itu harus membayar biaya yang luar biasa sangat tinggi. Jadi dalam hal ini sebetulnya sesuatu yang justru kita sedang mengelola sebuah risiko baru sesudah pandemi itu, yaitu dari tadinya risiko kesehatan sekarang menjadi risiko keuangan," ucap Sri Mulyani.
Baca: BI Sebut Stagflasi Akan Terus Mengemuka: Inflasi Tinggi, Ekonomi Tertekan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.