Oleh karena itu, ia hanya berharap pemerintah bisa membantu para sopir angkot. Salah satunya agar pemerintah tidak menaikkan harga BBM untuk angkutan umum dan menetapkan pembatasan konsumsi bagi kendaraan pribadi. Tapi nyatanya, pemerintah malah memutuskan kenaikan harga BBM untuk seluruh jenis kendaraan.
Sebab, dengan kenaikan harga BBM Rp 2.300-2.400 per liter, menurut Dedi, beban yang ditanggung sopir angkot bisa mencapai Rp 30 ribu-40 ribu. "Kita narik (kerja) setengah hari, biasa ngisi bensin Rp 55 ribu-60 ribu itu dalam posisi full. Setelah selesai narik, kita ngisi lagi untuk menuhin (tangki) lagi, itu bisa mencapai Rp 90 ribu," tuturnya.
Dedi sangat berharap, kondisi ini bisa membuka mata pemerintah soal mendesaknya bantuan bagi sopir angkutan umum yang sangat terpukul oleh kebijakan BBM tersebut. Ia mengaku sudah mendengar ada bantuan subsidi transportasi dari pemerintah sebagai bentuk pengalihan BBM, tapi hingga kini belum ada wujudnya.
"Subsidi itu kadang-kadang suka salah sasaran. Saya inginnya sopir didata dan kita dapat subsidi dari pemerintah. Itu harapan saya," kata dia.
Selain Dedi, Mamay, yang telah berporfesi sebagai sopir angkot selama 10 tahun juga berharap pemerintah betul-betul berpihak kepada masyarakat yang pendapatannya rendah. Apalagi, setelah pandemi 2 tahun lalu, jumlah penumpang angkutan umum juga cenderung belum banyak seperti saat kondisi normal.
"Sejak pandemi paling bawa Rp 100 ribu kadang Rp 50 ribu, BBM naik. Apalagi, sekarang udah sepi, banget jauh. Kalau bisa pemerintah tolong dibantulah masyarakat kecil," kata Mamay saat ditemui ngetem di depan Stasiun Klender Baru.
Baca: Tolak Kenaikan Harga BBM, Buruh: Siapa Orang Kaya Pakai BBM Bersubsidi yang Dimaksud?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.