TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pengusaha tekstil khawatir keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), jenis Pertalite dan Solar hingga lebih dari 30 persen. Kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Wirawasta menyampaikan kenaikan harga BBM akan sangat berpengaruh terhadap logistik perusahaan karena mengandalkan Solar dan Pertalite. Hal ini kemudian akan mengerek harga barang dan menurunkan daya beli masyarakat.
“Cuman yang jadi masalah bukan itu saja, yang kami lebih risau itu masalah ke daya beli masyarakat, karena logistik semua naik, semua harga-harga jadi naik, terutama harga pangan,” ujarnya, Minggu 4 September 2022.
Sebagai kebutuhan utama, masyarakat akan lebih banyak dan fokus mengeluarkan uang yang dimiliki untuk pangan ketimbang hal lainnya, seperti produk dari serat dan benang.
“Pelemahan daya beli ini yang kami khawatir, karena mereka pasti fokus ke pangan, akhirnya tekstil ada penurunan konsumsi,” lanjutnya.
Redma mengungkapkan bahwa sebelum adanya kenaikan BBM pun untuk tekstil sudah terjadi penurunan selama Agustus 2022 akibat pasar yang dikuasai oleh barang impor. Bahkan, kata Redma, beberapa pengusaha telah melakukan setop produksi akibat stok yang biasanya untuk dua minggu kini sudah menumpuk hingga satu bulan.
“Ya kalau sudah stok satu bulan, kita nggak ada cadangan cash flow beli bahan baku, kalau yang di hulu nggak bisa terjual, kita stop produksi,” paparnya.
Dengan demikian, adanya keputusan pemerintah yang menaikkan BBM, sudah pasti akan menekan industri tekstil yang telah lebih dahulu tertekan akibat banjirnya produk impor.
Tekanan Ganda Industri Tekstil
Senada dengan Redma, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rahman khawatir dengan penurunan daya beli dan berharap harga BBM terutama solar dapat kembali seperti sebelumnya.