Alih-alih membatasi penggunaan BBM subsidi khususnya solar subsidi yang selama ini salah sasaran, Bhima menyayangkan pemerintah malah langsung menaikkan harga BBM. "Kenaikan harga merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif."
Pembatasan konsumsi Pertalite, menurut dia, juga akan sulit tercapai. Karena dengan keputusan menaikkan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter, masih ada selisih yang cukup besar dengan Pertamax yang itu naik menjadi Rp 14.500 per liter. Akibatnya, pengguna Pertamax diperkirakan bakal beralih menggunakan Pertalite.
Sementara itu, masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun akan mengurangi konsumsi barang lainnya karena terpengaruh kenaikan harga BBM.
Sejumlah industri pun harus berpikir ulang, mengubah strategi usahanya karena kebijakan pemerintah itu. Sebab, BBM merupakan kebutuhan mendasar, dan pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan, minuman, hingga logistik akan terdampak.
Kemungkinan terburuk, menurut Bhima, pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan akan mengambil jalan pintas dengan melakukan PHK massal. "Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya," ucapnya.
Akibatnya, jumlah orang rentan miskin yang tak termasuk dalam daftar penerima bantuan langsung tunai (BLT) BBM bakal cukup besar. Sebab, ada penambahan orang miskin usai kenaikan harga BBM subsidi tersebut. Apalagi bantalan sosial yang disiapkan pemerintah hanya melindungi orang miskin dalam waktu empat bulan dan tidak akan cukup dalam mengkompensasi efek kenaikan harga BBM.
Baca: Harga BBM Naik, Erick Thohir Telepon Direksi Pertamina Minta Bersiaga 3 Hari ke Depan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.