Jika dibandingkan dengan negara-negara sovereign assessment yang lain, kata Sri Mulyani, 161 sovereign assessment mengalami downgrade. Adapun untuk revisi outlook, sebanyak 109 negara dihadapkan pada outlook yang negatif, sedangkan Indonesia afirmasi.
"Ini yang menggambarkan bahwa kita terus berhati-hati menggunakan instrumen APBN yang memang sangat penting, tetap harus bisa mengelola dari dampak guncangan ekonomi melindungi rakyat dan ekonomi, namun tidak mengorbankan kesehatan dan sustainability dari APBN," kata Sri Mulyani.
Lebih jauh Sri Mulyani memaparkan bahwa selama dua tahun belakangan atau 2020-2021, semua negara menaikkan defisit fiskal defisit karena penggunaan fiskal sebagai countercyclical policy. Di Indonesia, defisit fiskal naik 10,7 persen terhadap PDB.
Meski demikian, menurut Sri Mulyani, dengan kenaikan defisit fiskal tersebut dihasilkan Produk Domestik Broto yang sudah melewati sebelum masa pandemi di atas 7 persen. "Bayangkan negara-negara lain yang defisitnya jauh lebih besar yaitu menambah hingga 16 persen."
Bahkan, bila dibandingkan dengan India yang ekonominya pulih tapi harus membayar dalam bentuk lonjakan defisit fiskal hingga 23 persen dari GDP-nya hanya dalam waktu 2 tahun. "Amerika yang perekonomiannya tumbuh dan pulih harus menambah defisit dan utangnya sebesar 24 persen dari GDP," tutur Sri Mulyani.
Baca: Harga BBM Subsidi Dikabarkan Naik Besok, Pertamina Ungkap Kenaikan Volume Penjualan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.