TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai tambahan anggaran bantalan sosial berupa bantuan sosial atau bansos Rp 24,17 triliun untuk kompensasi kenaikan harga BBM subsidi terlalu kecil. Ia menyayangkan pemerintah hanya berfokus pada tambahan bansos untuk orang miskin atau 40 persen kelompok pengeluaran terbawah.
"Kelas menengah rentan yang jumlahnya 115 juta orang perlu dilindungi oleh dana kompensasi kenaikan harga BBM," ujarnya saat dihubungi, pada Selasa, 30 Agustus 2022.
Menurut Bhima, upaya pemerintah tidak bisa berhenti pada Program Keluarga Harapan (PKH) atau bantuan langsung tunai (BLT), tetapi para pekerja yang upah minimum nya cuma naik 1 persen juga perlu dibantu. Adapun bantuan tersebut bisa dengan skema subsidi upah dengan nominal lebih besar dibanding 2020-2021.
Begitu juga dengan UMKM, ia berpendapat perlu diberikan dana kompensasi. Misalnya, subsidi bunga kredit usaha rakyat atau KUR dinaikkan dua kali lipat atau diberi bantuan permodalan.
"Jika harga BBM bersubsidi naik, semua bisa kena dampaknya bahkan yang selama ini tidak menggunakan subsidi juga ikut kena inflasi," ucap Bhima.
Permasalahan berikutnya adalah seberapa cepat pencairan bansos kompensasi BBM. Kalau harga BBM naik, tapi bansos baru dihitung, belum 100 persen cair, maka efeknya sudah bisa menurunkan konsumsi rumah tangga.
Ia berujar bansos kerap bermasalah soal pendataan dan kecepatan eksekusi. Misalnya harga BBM akan naik pada September, maka bansos kompensasi idealnya menurut Bhima cair seluruhnya pada akhir Agustus.
Sementara itu, ia mengatakan dengan penambahan bansos Rp 24,17 triliun termasuk bansos untuk pekerja, berarti sinyal Pemerintah untuk menaikkan harga BBM subsidi dalam waktu dekat semakin kuat.
Selanjutnya: Jika harga BM naik, inflasi naik dan daya beli merosot.