"Walaupun kaya minyak tapi tabungan dari minyaknya itu Rp 1.300 triliun, jadi dia enggak susah. Denmark juga dengan itu. Anda dikasih US$ 10 ribu per bulan untuk kuliah. Kuliah dikasih duit. Kalau kita, kan bayar mahal jalur A, B, C. Pokoknya ribet deh komersialisasi pendidikan itu," ucapnya.
Atas dasar itu, Faisal mengatakan, saat ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk betul-betul mereformasi tata kelola minyak mentah dan subsidi BBM yang sebetulnya sudah dimulai Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak 2014.
Sayangnya, menurut Faisal, Jokowi tak lagi konsisten dengan janjinya karena nilai subsidi BBM terus dinaikkan.
"Kalau kita begini terus, ingat minyak kita itu 7-9 tahun lagi habis. Barangkali beli minyaknya harga dunia, 9 tahun lagi loh itu namanya reserve to production ratio. Kenapa turun terus ini lifting di bawah 700 ribu, sementara konsumsi kita kira-kira 1,4 juta totalnya," ujar Faisal.
Akibat minimnya produksi migas di tengah tingginya konsumsi BBM, pemerintah terpaksa impor 700 ribu barel per hari dengan uang APBN. Minyak yang juga disubsidi itu, kata Faisal, dibeli dengan mata uang dolar AS sekitar US$18 miliar.
"Itu yang kita habiskan. Untuk itu saja. Makanya rupiah melemah, subsidinya naik lagi, jadi ribet gara-gara si BBM ini enggak diselesaikan," tutur Faisal. "Yang saya takut 2040-2050 kita krisis energi karena batu bara kita enggak bisa menutupi, kita akan defisit subsdi energi US$ 40 miliar. Gak ada kedaulatan energi, malah kita didikte sama negara-negara lain."
Baca: Revisi Perpres Pengendalian BBM Tunggu Diteken Jokowi, BPH Migas Ungkap Isinya
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.